Diaspora dalam Teritorial

 Stefanus Andi  |     1 Aug 2014, 08:00

Mengamati kehidupan menggereja di kota metropolitan yang penuh hiruk-pikuk tentu akan berbeda dengan kehidupan menggereja di kota mungil atau malah pedesaan yang diam dalam keheningan. Di manakah letak perbedaan mendasar ciri khas penggembalaan dan karakteristik umat di antara keduanya? Sekiranya kita sekalian dapat menjawabnya sekilas, alm. Y.B. Mangunwijaya Pr. telah dengan cermat mengulasnya dalam Gereja Diaspora.

Diaspora dalam Teritorial

Buku ini dibagi ke dalam lima bagian: Situasi Kehidupan Diaspora, Pelayanan Gereja Diaspora, Paduan Gereja Teritorial dengan Jaringan Diaspora, Umat Diaspora dalam Kitab Suci, dan Gereja Diaspora dalam Perkembangan Sejarah. Tiap bagiannya diterakan menjadi empat bab, kecuali bagian kedua menjadi lima bab dan bagian ketiga menjadi enam bab, sehingga jumlah keseluruhan babnya menjadi 23 bab.

Dalam bagian pertama diuraikan definisi dan sekilas sejarah kemunculan serta ciri-ciri Gereja Teritorial Tradisional dan Gereja Diaspora Modern. Sesungguhnya awal mula lahirnya Gereja perdana pun mengalami efek Diaspora ini akibat diburu Romawi kafir (Pagan Rome). Sebelum melangkah lebih lanjut, sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya apakah Diaspora itu? Definisi Diaspora adalah benih-benih yang tersebar, terpencar (Bab 2, hlm. 27), sedangkan teritorial sendiri tentu sudah umum diketahui sebagai kewilayahan statis. Artinya diaspora memerlukan gerak dinamis untuk memenuhi kondisinya.

Bila di masa Gereja perdana para pembela iman Kristus secara militan bergerilya, Gereja Indonesia secara alami menderita dalam masa penjajahan Jepang; Mgr. Soegijopranoto sebagai satu-satunya uskup pribumi hanya dibantu Mgr. P. Yamaguchi di Flores (hlm. 27). Ternyata juga telah ada di Indonesia yang belajar sambil menjadi kusir andong, yakni alm. Romo Wiyono, Pr. (hlm. 28).

Ciri-ciri kedua macam Gereja, antara diaspora dan teritorial, dapat ditemukan di Bab 4, bahkan terdapat foto sapi yang senang dielus warga desa (hlm. 43). Sedangkan di Jakarta sendiri Mgr. Leo Soekoto sudah merintis pelayanan fungsional atau kategorial dalam kaidah Gereja Diaspora (hlm. 49-50). Rupanya perlu diperhatikan kembali supaya pendidikan teologi maupun praksis calon imam tidak hanya berlatar dunia agraris atau diosesan belaka, melainkan juga perlu menggumuli hakikat urban metropolitan.

Pada bagian kedua disoroti tentang pelayanan Gereja Diaspora dan tantangannya. Prinsip lex agendi lex essendi yaitu tata perbuatan menyesuaikan diri dengan tata keadaan, memerlukan strategi dan organisasi yang khusus (hlm. 53). Di bagian ini juga termaktub dua dekrit KV II, yakni Gaudium et Spes art. 31 dan Apostolicam Actuositatem (Kerasulan Awam) art. 2, meliputi tiga penugasan (hlm. 55-56):

  1. Imam, mengikhtiarkan kesucian umat dan semua manusia.
  2. Nabi, mewartakan sabda Kabar Gembira Kristus secara utuh, dalam kata perbuatan.
  3. Raja, menuntun, memimpin, mengarahkan umat.

Ketiga tugas tadi merupakan tugas bersama religius dan awam, sekaligus semakin mengaburkan batas keduanya.

Perlu digarisbawahi bahwa keluarga inti adalah cikal bakal Gereja (hlm. 57) dan benteng utama Gereja Diaspora (hlm. 67). Meskipun praktis dalam kehidupan Gereja, biara dan gedung gereja menjadi pusat kegiatan umat, harus diingat bahwa Perayaan Ekaristi merupakan sumber kehidupan kita (hlm. 69). Akan tetapi, dalam krisis besar sebuah keluarga yang menghayati keseharian dalam iman yang dipraktikkan dalam kebiasaan-kebiasaan kecil, seperti berdoa sebelum bersantap bersama, membaca Kitab Suci bersama, berdoa bersama, akan dapat dijamin selamat dan teguh berdiri. Yang beribadat macam-macam hingga enam jam di gedung gereja dapat dipertanyakan kehidupan iman keluarganya (hlm. 70). Sekali lagi, Perayaan Ekaristi adalah sumber dan puncak hidup iman kita yang menginspirasi kehidupan keseharian kita, asalkan tidak disalahgunakan.

Bagian ketiga buku ini menyelami kemungkinan Paduan Gereja Teritorial dengan Jaringan Diaspora; proses terjadinya dahulu di awal mula Gereja perdana merupakan organisme, kemudian menjadi organisasi raksasa, lalu setelah Konsili Vatikan II kembali ke organisme baru, dari Gereja piramida menjadi Gereja jaringan bercorak mozaik (Gb. hlm. 95-96).

Birokratisasi berlebihan bermental penguasa harus dihindari dalam struktur Gereja mengingat pengalaman kelam Gereja sepanjang 1600 tahun; hal yang menyebabkan korupsi, kolusi, dan nepotisme feodalis hingga mengakibatkan terbentuknya sempalan kaum Protestan Reformis. Teladan Kardinal Yustinus Darmoyuwono yang mundur karena lanjut usia dan bekerja menjadi pastor biasa (hlm. 99) diikuti oleh suksesornya Mgr. Julius Darmaatmadja juga Mgr. FX Hadisumarta. Keteladanan ini merujuk pada struktur organisasi Gereja yang bukan fungsi pemerintahan melainkan fungsi pelayanan pengabdian suci.

Pelayanan Paus dan Uskup meski penting dari segi peran sebagai simbol, dalam operasional praktis justru pelayanan dari anggota Gereja terbawah perjumpaan dengan umat yang dipandang penting dan vital bagi keberlangsungan Gereja; dimulai dari keluarga, lingkungan, sampai ke struktur paroki dalam visi primus inter pares: perdana di antara sederajat. Dalam hal inilah umat Gereja Sistem Teritorial bersua dengan Gereja Fungsional Diaspora. Dalil yang dapat dicermati adalah: pada taraf Prinsip dan cakrawala luas tentu pimpinan hierarki Gereja lebih paham daripada umat di bawah, sedangkan bidang Operasional praktis gembala (Imam dan awam) lebih terampil mengetahui keadaan lapangan yang terkadang memerlukan karisma, inspirasi Roh yang khas (hlm.106-107).

Dalam bagian ini juga diuraikan tugas khas komisi Kerasulan Awam dan peranannya dalam politik. Kerawam oleh hierarki digariskan untuk tidak merambah ke wilayah politik praktis, wilayah yang sudah diemban oleh umat di luar hierarki untuk melengkapi tugas Hierarki (hlm. 124). Perlu dibenamkan dalam pemahaman bahwa politik praktis yang dimaksudkan adalah politik kekuasaan, sedangkan politik moral adalah wajib dihayati tiap umat yang sadar berpolitik.

Terdapat lima kategori pokok Jaringan Pastoral yang trans‐teritorial dengan titik‐titik simpul silang‐wilayah dan atau atas wilayah (hal. 132‐134), yaitu:

  1. Persekutuan Pendalaman atau Pembekalan Rohani untuk Ketahanan/ Konsolidasi Diri. Contohnya: Legio Mariae, Marriage Encounter, Choice, PDKK, Komunitas Hidup Kristiani, Karyawan/ti Muda Katolik, Kelompok Refleksi Meditasi dan Studi Kitab Suci, dsb.
  2. Perhimpunan Pendidikan Informal atau Kategorial. Contohnya: Kelompok Mahasiswa Kampus, Margasiswa, rekan sejawat Katolik seperti Ikatan Sarjana Katolik Indonesia dan Persatuan Usahawan Katolik.
  3. Gerakan Sosial Politik. Contohnya: WKRI, PMKRI, Pemuda Katolik, Persatuan Tani Organik, institusi sosial, koperasi kredit (credit unions), pendampingan kaum buruh.
  4. Pengabdian lewat Badan atau Lembaga Pengabdian Profesional. Contohnya: dokter-dokter dan paramedis, karya sosial anak‐anak terlantar, tarekat religius rohaniwan‐rohaniwati, Perhimpunan Vincentius Jakarta, Jesuit Refugees Services.
  5. Jaringan Lobi bukan dalam ruang publik. Seni berkomunikasi informal semacam ini sungguh mahapenting. Iklim sistematika komunikasi ini harus dikembangkan para gembala umat dari jajaran elite hingga rakyat jelata.

Meskipun fungsi tiap kategori bersifat khas, ada fungsi yang dapat mudah membaur padu. Seperti dalam fungsi WKRI, PMKRI, Pemuda Katolik, ISKI, PUKAT, dsb dapat dimasukkan dalam kelima kategori tersebut. Yang perlu dimaknai ialah bahwa kelima kategori fungsi Pastoral ini merupakan kekayaan karisma atau anugerah Roh Kudus yang berwarna‐warni dan patut disyukuri (hlm.135).

Bagian ini ditutup dengan keteladanan Yesus yang hidup dinamis selalu bergerak mewartakan Injil. Hal ini sesuai yang diucapkan‐Nya seperti dikutip oleh penginjil Matius dalam bab 8 ayat 20, "Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi Putra Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala‐Nya." (hlm. 142). Dalam praktiknya jelas tidak mungkin diterapkan jam biara yang teratur rutin atau berpakaian perlente birokratis, melainkan perlu semacam improvisasi rasa dan intuisi menghadapi medan lapangan yang menelurkan kreativitas gerilya (hlm. 141, 143).

Di Bagian keempat Rm. Mangun menguraikan kisah Diaspora menurut terang biblis. Kejadian 6:9‐12 menggambarkan Nabi Nuh sebagai minoritas dari minoritas yang terpencil dari antara kaum lingkungannya yang tengah rusak binasa. Ia menaati perintah Allah di tengah cemoohan dan kucilan sekelilingnya. Hal yang menurut mendiang Mgr. Soegijapranata, SJ disebut firmus in re, suavis in modo. Tegas keras kepala dalam prinsip tidak ikut‐ikutan, tetapi lembut menghadapi sesamanya (hlm. 147‐148). Dari imannya itulah ia mendapat keselamatan bersama keluarganya dalam Tuhan (bdk. Rm. 3:28).

Dari masa Taurat: Abraham, Musa, hingga Raja‐raja: Daud, Salomo, Ahas, sampai Nabi‐nabi: Yesaya,Elia, Yehezkiel, Amos, Hosea, dst. yang merupakan sejarah Perjanjian Lama yang kepenuhan nubuatnya dipenuhi oleh kedatangan Yesus Kristus, Sabda Allah berkesinambungan dalam wujud manusia beriman nan diasporadis. Abram dipanggil Tuhan merantau ke Ur‐Kasdim. Perantauan yang penuh perjuangan serba nomaden tanpa kepastian selain iman kepada Allah yang memanggilnya (hlm. 149). Ujian demi ujian dijalaninya hingga ia menjelma menjadi Abraham dan mendapatkan janji Tuhan menjadi bapa bangsa yang besar (bdk. Kej. 22:17).

Keturunan Abraham: Ishak, lalu Yakub. Yakub yang kemudian mendapat nama Israel karena telah bergumul dengan Allah dan menang (lih. Kej. 32:28). Perlu diingat, Israel yang dimaksud bukan Israel masa kini politis melainkan Israel dalam sejarah Alkitab yang secara simbolis religius nyata sebagai sejarah juga mengatasi sejarah (hlm.151‐152). Keluarga Yakub ini yang kemudian mengungsi juga ke Mesir akibat bencana kelaparan.

Di Mesir ratapan bangsa rantau yang tidak memiliki hak sebagai warga negara karena berstatus budak dijawab Tuhan dengan lahirnya Musa. Perjalanan pembebasan yang berlangsung selama 40 tahun di padang gurun dipuaskan oleh tanah terjanji. Kemudian Hakim Samuel mengurapi Saul dan Daud. Yang terakhir dijanjikan akan mendapatkan keturunan yang akan menebus umat manusia (bdk. 2Sam. 7:16; Yes. 9:6; Luk. 1:22‐23).

Pada zaman pembuangan Babel nabi‐nabi besar bermunculan, seperti Yesaya, Yeremia, Amos, dll. Juga bangkitnya Ester sebagai puteri Israel dan Daniel dalam kitab apokaliptik. Maka tinggallah sisa Israel (Zef. 3:12‐13; Yes. 10:21) yang serba terserak (Yeh. 34:5‐6). Yang dimaksud adalah seperti Tobit, Sara, Daniel, dll. Mereka orang kecil sederhana yang setia kepada Tuhan (hlm. 158).

Gereja masa kini pun bercermin sebagai 'peziarah dalam negeri asing yang berjuang di tengah penindasan dunia dan hiburan dari Tuhan..' (LG bab 1, 8) Pengembara merantau berziarah. Musafir kafilah, Diaspora bagaikan sisa Israel dalam bahtera Nuh (hlm. 162).

Empat abad Gereja perdana sejak pencurahan Roh Kudus dalam Pentakosta merupakan masa Gereja Diaspora. Gereja kaum awam yang bergerak organis bukan organisatoris, bahkan janda dan Diakones (Diakon perempuan) mempunyai peranannya sendiri. Janda berfungsi karitas juga pastoral, sedangkan Diakones mencakup karya fungsi liturgis pula (hlm. 167).

Pengurus Gereja dan Papa‐miskin adalah Tradisi Gereja Perdana. (bdk. Kis. 2:44‐45). Kegembiraan ialah buahnya, panggilan kesatuan antara berbakti kepada Tuhan dan melayani yang menderita. Alm. Mgr. Leo Soekoto sempat menggariskan 30‐40% total kolekte umat supaya dipersembahkan eksklusif bagi pelayanan kaum dina miskin, baik Katolik dan non‐Katolik (hlm. 174).

Mgr. Soegijopranata menandaskan, "In dubiis libertas, in necessitatibus unitas, in omnibus caritas." Yang sekiranya bermakna: dalam hal meragukan bebas berpendapat, dalam hal hakiki prinsipil esensial harus bersatu, dalam segalanya berdasarkan cinta kasih. Meskipun berpencar namun tetap bersatu dalam Ekaristi (bdk. Kis. 2:46). Demikian pun kelangkaan Imam dan jangkauan luas teritorial bukan halangan bagi umat untuk beribadat mengenang kematian, memuliakan kebangkitan, dan mendambakan kedatangan Kristus Tuhan kita, demi mewartakan Kerajaan Surga di dunia.

Buronan manusia teguh yakin bersikap berani mengorbankan nyawa ialah ciri khas Gereja Diaspora. Oleh karenanya Gereja Diaspora adalah Gereja para martir (hlm.180). Justru karisma itulah yang menarik hati banyak orang. 'Dan mereka disukai banyak orang.' (Kis. 2:47) Hal ini juga yang menjadi tolok ukur Gereja dewasa ini, apakah Gereja kita admiranda sed non amanda? (pantas dikagumi, tetapi tidak layak dicintai).

Bagian kelima dan terakhir dari buku ini menilik kembali sejarah Gereja dalam Diasporanya. Sejak Pentakosta hingga abad IV Gereja alami diaspora perdana. Kemudian setelah Kaisar Theodosius meresmikan agama Katolik sebagai agama negara Roma Byzantium hingga abad ke‐19, Gereja pun menjadi Gereja sekuler. Dimulai dari Revolusi Prancis 1789 sampai pada 1870 nasionalis Italia menghapus Negara Gereja (dan merampas kekayaan Gereja), hingga akhirnya di tahun 1929 kedaulatan Vatikan diakui dalam 'Perjanjian Lateran' (hlm. 192).

Dimulailah persebaran misi dalam kaidah Gereja yang baru. St. Fransiskus Agung dan St. Theresia Kecil menjadi pelindung karya misioner. St. Fransiskus Xaverius segi Agama makro, sedangkan St. Theresia Lisieux mendaraskan Iman. Meskipun dulu terbilang sukses misi lewat elite penguasa, hendaknya strategi St. Fransiskus Xaverius ditinggalkan dalam zaman modern ini. Diaspora berarti perjuangan, tidak punya banyak teman, sering sedih merasa kesepian, dan itulah penghayatan Salib pemuridan (hlm. 206).

Panggilan moral alami Diaspora ialah Tradisi Katolik yang pengejawantahannya dirumuskan dalam norma dan nilai Katolik di mana pun lingkungan budayanya. Komunikasi pun penting mengikuti hukum dan tradisi yang berlaku, tetapi lebih penting iman, pengharapan, dan kasih. Naskah ini ditutup indah oleh Rm. Mangunwijaya dengan kutipan surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus.

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu.
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu,
sabar menanggung segala sesuatu.
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti;
pengetahuan akan lenyap.
Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna.
Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.
Ketika aku kanak‐kanak, aku berkata‐kata seperti kanak‐kanak,
aku merasa seperti kanak‐kanak, aku berpikir seperti kanak‐kanak.
Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak‐kanak itu.
Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar‐samar,
tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka.
Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna,
tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih,
dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.​

Buku ini sudah tak dapat dijumpai di toko buku kesayangan Anda, namun masih tersedia di perpustakaan Paroki Tomang tercinta.*

Lihat Juga:

Resensi Buku Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi