Inkulturasi: Asimilasi Berkesinambungan

 Stefanus Andi  |     20 Jan 2014, 14:52

Judul buku: Inkulturasi Budaya Tionghoa dalam Gereja Katolik
Penulis: Jacobus Tarigan, Pr. dan Johan Suban Tukan
Penerbit: Kalangan Sendiri
Tahun terbit: 2007
Tebal: iv + 162 hlm.

Inkulturasi: Asimilasi Berkesinambungan

Menjelang Imlek 2565 ini Gereja ikut merayakan dalam Perayaan Ekaristi bersama umat, baik dari Tionghoa maupun dari simpatisan umum. Dalam Perayaan Ekaristi syukur atas Imlek tentu ada budaya Tionghoa yang diserap. Untuk memperkenalkan inkulturasi tersebut, kiranya baik bila kita membaca buku karangan RD Jacobus Tarigan dan Johan Suban Tukan berjudul Inkulturasi Budaya Tionghoa dalam Gereja Katolik.

Buku ini dibagi ke dalam tujuh Bab: Pandangan Hidup, Agama Etnik Tionghoa, Perkawinan, Seni Membina Kursus Persiapan Perkawinan, Misa Imlek Inkulturatif, Inkulturasi Lagu Mandarin, dan Cermin Diri. Dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat tiga kelompok etnis Tionghoa peranakan di Indonesia: Tionghoa Totok (Singkeh), Tionghoa Keturunan, dan Tionghoa Lokal (hlm..33) selain secara khusus di Paroki Mangga Besar terdapat empat macam tipe umat Tionghoa Katolik yang diuraikan di hlm. 49-50.

Menurut adat Tionghoa, perkawinan dijodohkan oleh orang tua dan wanita dipingit di rumah. Oleh karena menurut Kong Hu Cu wanita memiliki lima kelemahan: tidak disiplin, selalu tidak puas, suka memfitnah, suka cemburu, dan bodoh sehingga istri haruslah patuh terhadap suaminya. (hlm. 65) Upacara menjelang, saat, dan seusai perkawinan cukup rumit, karena bagi orang Tionghoa perkawinan harus dirayakan dengan meriah dan agung. Pedoman dalam Gereja Katolik diuraikan lebih lanjut dalam Gaudium et Spes no. 47 dan 48 seperti termaktub dalam hlm. 72-77.

Misa Imlek Inkulturatif mengacu pada Sacrosanctum Concilium no. 27 yang dikutip di hlm. 97. Juga diuraikan berbagai artikel dari Majalah Hidup dan Agape. Yang menarik, Pastor C.H.Suryanugraha, OSC. memberikan sedikit katekismus tentang Inkulturasi Imlek ini dalam hlm. 122-125 seperti yang pernah dimuat di majalah Hidup no. 07 Tahun LX, 12 Februari 2006. Dalam hlm. 126-132 diungkapkan beberapa perbandingan simbol Antara Buddha Mahayana dan Gereja Katolik, yaitu: Dupa/Hio, Lilin/Api/Lampu/Penerangan, dan warna Merah.

Bahkan lagu Mandarin pun disoroti untuk digali kemungkinannya untuk dimasukkan ke dalam liturgi Gereja Katolik bersamaan dengan gaya Jawa, Manado, Flores, Irian, dsb. Ada beberapa kriteria lagu liturgi dalam syair dan seni lagu yang diuraikan panjang lebar di hlm. 140-143. Juga dicantumkan contoh lagu Inkulturatif berjudul Ulurkan Tangan Kami karangan Finna Su Phing aransemen Paul Widyawan.

Akhir kata perlu kita bercermin kembali dalam budaya orang Tionghoa ada nilai-nilai positif yang dapat dipelajari dan ditiru seperti: rajin bekerja, ulet, wirausahawan, hemat, memegang teguh kepercayaan, ramah, berbakti kepada keluarga, hormat kepada yang tua, dll., meskipun tidak dilupakan bahwa ada nilai-nilai negatif yang tidak perlu dicontoh. Yang penting diperhatikan adalah tiada budaya eksklusif, melainkan kebersamaan inklusif. (andi)

Lihat Juga:

Resensi Buku Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi