Hidup yang Tak Lagi Sama (Refleksi Seorang Prodiakon)

 Helena D.Justicia  |     17 Apr 2017, 22:50

Sewaktu hendak menjadi prodiakon, keinginanku sederhana saja: mengantarkan Yesus kepada umat yang sakit atau lanjut usia. Ternyata, kesederhanaan itu mengandung kompleksitas juga.

Menjadi prodiakon berarti menata diri. Kendati senantiasa diwarnai kelemahan & dosa, seorang prodiakon perlu berusaha agar dapat melayani dengan 'pantas'. Dengan berharap pada belas kasih & pertolongan Allah, kita akan dapat melayani sebaik-baiknya. St. Teresia dari Lisieux menulis: Masih banyak ketidaksempurnaan dalam diriku, tetapi saya sekarang tidak heran lagi tentang apa saja. Saya sama sekali tidak cemas melihat bahwa diriku adalah kelemahan itu sendiri. Sebaliknya, saya malah berbangga karenanya, dan setiap hari saya bersedia menemukan ketidaksempurnaan yang baru dalam diriku. Bila saya ingat bahwa cinta menutup banyak dosa, maka saya menimba kekayaan dari tambang yang telah dibuka oleh Yesus bagiku. Rasul Paulus menulis: Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku (2 Korintus 12:9).

Menjadi prodiakon berarti mengubah kebiasaan-kebiasaan, agar yang dilakukan dapat selaras dengan apa yang diharapkan & dirindukan umat dari seorang prodiakon.

Menjadi prodiakon berarti belajar menghargai komitmen... menepati janji, menepati jadwal, agar tak ada orang yang dikecewakan.

Menjadi prodiakon berarti belajar berkorban, berani mengesampingkan keinginan diri karena kebutuhan sesama menjadi yang terutama. St. Teresia dari Lisieux menulis: Gereja mempunyai hati dan hati itu bernyala-nyala dengan cinta kasih. Hanya cinta kasih yang dapat membuat anggota-anggota Gereja bertindak. Semua panggilan termuat dalam cinta kasih, bahwa cinta kasih adalah segala-galanya... Aku telah menemukan tempatku dalam Gereja dan Engkaulah, ya Allahku, yang memberikan tempat itu kepadaku. Dalam jantung hati Gereja, bundaku, aku akan menjadi cinta kasih.

Menjadi prodiakon berarti belajar untuk rela dan memiliki hati terbuka, agar dapat memberikan bantuan bagi sesama yang memerlukan. Kerelaan dan hati terbuka mengandaikan sikap kosong di hadapan Allah. Kita tak punya apa-apa. Biarlah Allah sendiri yang hadir dan memenuhi hidup kita. Dengan bantuan rahmat-Nya, kita akan dimampukan untuk memandang segala sesuatu dari mata Allah, dan menemukan Allah dalam segalanya.

Menjadi prodiakon berarti mau belajar tentang hal-hal baru, tak terbelenggu oleh sikap, cara pikir, bahkan penilaian sendiri. Menjadi prodiakon berarti dengan sukacita hadir bersama orang lain & mendengarkan mereka. Kita perluberhati-hati, mendengarkan lebih banyak, melihat lebih banyak, ketimbang yang sekadar tampak. Berbicaralah dan bertindaklah sebagai orangyang akan dihakimi oleh hukum yang membebaskan. Sebab keputusan yang tak berbelaskasihan akan berlaku atas orang yang tak berbelaskasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas keputusan itu (Yakobus 2:12-13).

Menjadi prodiakon berarti berani untuk mengalami perubahan hidup.. sebagaimana roti dan anggur yang diubah menjadi tubuh & darah Kristus, untuk dibagikan kepada sesama.


Menjadi prodiakon adalah suatu keberanian untuk menanggapi panggilan Allah. Tak mudah, karena Yesus mengatakan: Aku ingin kau sempurna seperti Bapa di surga. Tak mudah, namun Ia juga berkata: Aku akan menyertaimu sampai akhir zaman.

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi