Sumpah Pemuda di Era Digital

 Ign. Sunito  |     26 Oct 2014, 12:32

Setiap tanggal 28 Oktober diperingati Hari Sumpah Pemuda. Seperti umumnya Hari Hari Kebangsaan kita selalu diingatkan akan roh dan menjiwai kembali semangat kebangsaan. Khusus di Hari Sumpah Pemuda mengingatkan kembali peran generasi muda akan rasa persatuan dan kesatuan untuk berbuat baik kepada Negara dan bangsa. Tanggal 20 Oktober 2014 lalu kita baru saja mendapatkan Presiden dan Wakil Presiden baru yang tentu kita ingat dengan slogan Revolusi Mental. Di mana pengaruh utama telah terasa ketika masa kampanye Pilpres lalu, gerakan kaum muda yang tergabung dalam relawan JKW/JK membuahkan rasa persatuan dan kesatuan. Cerminannya adalah dalam Konser 2 Jari yang begitu spektakuler. Demikian juga dalam Pesta Rakyat Menyambut Presiden Baru tanggal 20 Oktober lalu. Semua think tanknya adalah anak-anak muda. Sebuah perwujudan " Sumpah Pemuda" abad 21.

Akibat kemajuan zaman dan era globalisasi generasi muda kita terkena stigma "tipis rasa nasionalisme". Terlebih kalau kita lihat masa kampanye Pilpres/Cawapres 2014 lalu. Satu pihak tergabung di kekuatan "putih " dengan segala kegiatan yang mendukung persatuan dan kesatuan, namun di pihak lain bergabung di kelompok "hitam" dengan kepandaian teknologinya membuat Obor Rakyat, survey abal-abal, situs-situs palsu, yang semuanya usaha untuk memecah belah bangsa.

Di abad generasi digital ini abad reformasi yang memiliki persepsi, kesadaran, dan kultur berbeda di mana setiap komunikasi, wacana pertukaran, negosiasi, transaksi, "keputusan politik " berlangsung secara digital, eranya Net Generation. Yang tumbuh adalah era informasi digital dengan segala bentuknya apa itu internet, FB, Twitter, dst. Lalu, tumbuh dan dibentuk dalam bingkai-bingkai budaya digital yang menentukan cara berpikir, kebiasaan mental dan pandangan dunia mereka lebih terbuka, dinamis, smart, fleksibel. Budaya ini membentuk ulang posisi mereka dalam aneka institusi. Isu keseharian mereka bukan hal-hal yang berbau nasionalisme, melainkan segala sesuatu yang mampu memberikan perhatian, keterpersonaan, hiburan, tantangan dan kejutan. Dan mereka lebih akrab dengan bintang-bintang Pop atau tokoh Avatar lainnya daripada tokoh-tokoh keteladanan. Sayangnya memang Indonesia sangat miskin tokoh keteladanan.

Revolusi Mental
Fenomena Jokowi dengan Revolusi Mentalnya seperti akan mendefinisi ulang untuk merangkul generasi muda ke arah tujuan yang positif. Dari mereka sendiri menciptakan melalui "ruang antara" seperti berdirinya para relawan, komunitas musik, seni, kreatif hingga kontenkonten bermuatan parodi, joke atau surprise-surprise lain. Misalnya paling terkenal adalah pendiri Kawal Pemilu. Orang seorang jenius muda, Ainun Najib yang bisa membentuk laman pengawasan hasil pemilu pilpres hanya dalam waktu 3 hari, padahal KPU sendiri membutuhkan waktu tahunan.

Maka dengan semangat seperti itu kita percaya Indonesia kini sudah mempunyai "magnet" tokoh keteladanan, Jokowi dan mereka generasi muda yang bergabung dengan kekuatan "putih" tadi semangat Sumpah Pemuda 1928 akan berinkarnasi kembali. Bagaimana Revolusi Mental bisa berjalan jika dari rancangan, pengaturan, pelaksanaan oleh mereka yang justru belum terrevolusi mentalnya?

Kita harus optimis memandang ke depan.

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi