Ketika Tragedi Bom Dijadikan Tontonan Komedi

 Sigit Kurniawan  |     31 Jan 2016, 16:31

Apakah kita tertawa terpingkal-pingkal melihat layar smartphone yang dipenuhi dengan meme-meme lucu seputar bom dan teror bersenjata yang terjadi di Thamrin 2 pekan lalu? Kita menikmati hiburan itu sembari makan siang, jongkok di toilet, atau ngadhem di kafe atau di gedung-gedung jangkung.

Ketika Tragedi Bom Dijadikan Tontonan Komedi

Meme Lelucon itu berseliweran di handphone kita di saat tragedi kemanusiaan itu masih hangat dan korban masih dalam keadaan terluka, kesakitan, trauma, bahkan korban meninggal masih tergeletak di jalan. Pertanyaan polosnya, bagaimana mungkin orang-orang bisa membuat lelucon di saat tragedi kemanusiaan sedang terjadi?

Cara masyarakat -Anda dan saya-dalam merespons tragedi itu menarik untuk dikritisi bersama. Kita sudah terbiasa berperan sebagai masyarakat penonton. Tragedi pun, asal tidak menimpa diri kita, bisa di jadikan tontonan yang menghibur. Tampaknya, penyakit sinetron telah merusak cara kita merespons realitas.

Tren menonton ini vulgar terlihat pada fenomena bom Thamrin, begitu terdengar bom meledak, orang justru berbondong-bondong mendatangi tempat kejadian. Untuk apa? Untuk menonton. Menonton apa? Menonton yang berdarah-darah, yang tragis, dan yang getir.

Sementara, orang-orang yang berada jauh dari tempat kejadian, menontonnya melalui televisi, komputer, maupun ponsel pintar. Menonton tentunya merupakan posisi yang lebih enak ketimbang menjadi orang yang terlibat dalam tragedi itu -dalam hal ini para korban. Bahkan, agar tontonan makin menghibur, kita dengan seenaknya membuat meme-meme dan lelucon seputar tragedi.

Menonton dari sudut pandang lain artinya membiarkan. Dalam hal ini, termasuk membiarkan hal-hal buruk terjadi di depan mata. Kita menolak mengambil bagian dan lebih memilih memeroleh kenikmatan sebagai penonton (bdk. Reza Wattimena, Rumah Filsafat, 2011). Kenikmatan-kenikmatan semu itu terfasilitasi oleh internet dan media-media sosial.

Bolehlah orang menyikapi terorisme dengan santai dan humor sebagian ungkapan menghalau ketakutan yang menjadi misi dari terorisme itu. Namun, masalah etis muncul dalam pertanyaan di mana empati kita terhadap para korban? Empati dalam bahasa Yunani artinya kemampuan merasakan. Merasakan apa? Penderitaan orang lain. Dalam hal ini, empati dekat dengan belarasa terhadap nasib orang lain. Belarasa tak lain mampu memandang dan merasakan dari sudut pandang korban.

Dalam etika kepedulian (Franz Magnis-Suseno, 2005), kita ditantang bukan untuk menjawab mengapa kita perlu peduli pada korban, tetapi bagaimana cara membuat kepedulian itu nyata terhadap para korban. Lelucon dan meme yang mengaburkan penderitaan korban dan demi kenikmatan palsu ini jelas merupakan tindakan tidak etis dan tak berempati.

Mungkin kita berdalih, kita tak bermaksud demikian. Tetapi, kalau dalam perkataan saja kita tak bisa berempati, apalagi dalam perbuatan? Jangan-jangan, dalam menggereja dan beriman pun, kita sekadar menjadi umat penonton dan senang menikmati kenikmatan-kenikmatan semu dari tragedi yang menimpa orang lain? Iman tanpa perbuatan adalah mati!

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi