Ironi Sumpah Pemuda

 Andreas S. Pratama  |     1 Nov 2014, 19:17

Berbicara tentang Sumpah Pemuda, secara otomatis pembicaraan soal persatuan Indonesia akan dibahas. Pembicaraan ini secara umum akan langsung terarah pada keberagaman masyarakat yang ada di seantero pulau di Indonesia. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" pun juga bakal langsung disebut. Tetapi membicarakan Sumpah Pemuda serasa "tak lengkap" bila tidak membicarakan berbagai kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Ironis
memang.

Ironi Sumpah Pemuda

Kita tentu tahu bahwa kaum minoritas di beberapa daerah di Indonesia masih mendapat tekanan dari kaum mayoritas. Beberapa buktinya antara lain: umat GKI Yasmin yang juga belum bisa menikmati nikmatnya beribadah di dalam lindungan gedung gereja, karena mendapat tentangan dari warga sekitar, umat Katolik di Paroki St. Bernadette, Ciledug, yang sempat mendapatkan penolakan warga, meskipun telah mendapatkan izin mendirikan bangunan dari pemerintah, dan Jemaat Ahmadiyah yang masih belum bebas menjalankan ibadah.

Kita tak lagi perlu berpikir terlalu keras untuk bisa menyimpulkan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut amatlah bertentangan dengan ikrar Sumpah Pemuda yang dinyatakan di dalam Kongres Pemuda II. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
intoleransi ini. Selain pemerintah yang dianggap lalai karena tak mampu melindungi rakyatnya, faktor yang penulis anggap paling berpengaruh adalah semakin hilangnya kesadaran para pemuda untuk kembali memaknai isi dari Sumpah Pemuda. Bagaimana bisa memaknai, hapal saja tidak.

Beberapa orang mengatakan bahwa berkurangnya pemaknaan Sumpah Pemuda turut didorong oleh semakin majunya zaman. Teknologi yang kian berkembang membuat manusia-manusia cenderung introvert, tertutup, dan bahkan anti-sosial. Kita berubah menjadi makhluk yang egois, mementingkan diri sendiri. Menjalin komunikasi tak perlu secara verbal, karena smartphone dan jaringan internet sudah bisa menghubungkan kita dengan orang lain tanpa mengenal jarak dan waktu. Relasi dunia maya lebih erat dibandingkan hubungan sosial secara fisik.

Dalam sebuah kesempatan, penulis sempat bertanya kepada seorang teman OMK mengenai makna Sumpah Pemuda di era yang serba modern ini. Ia menyebutkan bahwa Sumpah Pemuda tetap memiliki makna yang sangat besar di Indonesia hingga kapan pun. Pasalnya, sumpah yang disebutkan untuk pertama kalinya pada 28 Oktober 1928 ini adalah sebuah dasar untuk menjaga kebhinnekaan yang ada di Indonesia dan untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Teman saya tersebut sempat menyayangkan turunnya kepedulian dan pemaknaan Sumpah Pemuda di tengah-tengah perkembangan zaman, tetapi meskipun begitu ia tetap yakin bahwa Sumpah Pemuda telah terserap, terkristalisasi ke dalam alam bawah sadar sebagian besar masyarakat Indonesia. Ia begitu yakin bahwa kita akan sampai di suatu titik di mana seluruh bangsa akan menyadari makna sebenarnya yang terkandung di dalam Sumpah Pemuda dan bersatu, membangun negara Indonesia tercinta.

Mudah-mudahan kesadaran kita untuk memaknai kebhinnekaan Indonesia tak datang terlambat.

Lihat Juga:

Tema Nasional (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi