Jasmerah

  12 Dec 2010, 08:00

Jangan sekali sekali meninggalkan sejarah. Itu judul pidato Presiden RI pertama Soekarno 17 Agustus 1965. Namun oleh KAMI, kesatuan aksi mahasiswa Indonesia, dipelesetkan kalimat itu dengan akronim JASMERAH. Merah itu warna terkutuk di zaman itu dan selama 32 tahun pemerintahan Orba. Merah simbol komunis yang harus diberantas, mereka yang dicap "merah" kalau bisa langsung dibunuh. Dibunuh beneran atau dibunuh hak-hak sipilnya. Periode itu ditandai bangkitnya atau malah hancurnya sebuah sopan santun generasi muda terhadap orang tua.

Malah sekarang lebih meluas lagi dengan tiadanya sopan santun terhadap pergaulan yang santun. Ya, biasanya kebiasan jelek itu melekatnya lebih gampang dan malah keterusan sampai saat ini, ditambah hilangnya pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah.

Saya ingat ketika mulai tinggal di Kebon Jeruk 1974, jalan atau persisnya gang masuk ke kompleks perumahan sulit dilalui dua mobil berpapasan. Ketika membangun rumah, saya relakan tanah di depan rumah untuk pelebaran jalan (inisiatif pribadi). Langkah saya ini segera ditiru oleh para tetangga sebelah menyebelah. Alhasil, kini dua mobil lalu lalang bebas berpapasan, tentu, ya, jalannya harus pelan-pelan.

Saya tak butuh pujian atau sejarah perkampungan tempat saya tinggal untuk mencatatnya. Namun saya manusia biasa, dongkol banget kalau ada mobil ngebut di depan rumah. Terlebih-lebih jika saya berdiri atau jalan di depan rumah, langsung mobil itu membunyikan klakson. Dongkol karena yang mengendarai mobil adalah anak-anak tetangga sendiri. "Sudah dibikin enak, eh, kurang ajar banget!", batinku misuh.

Nah, ingat peristiwa pekan lalu tentang pernyataan SBY tentang Monarki Yogyakarta. Bikin heboh, karena sejarah Keistimewaan Yogyakarta dicatat dengan dokumen dan ditulis dengan "tinta emas". Sebuah perjuangan nenekmoyang, kok, mau dilupakan begitu saja. Sebuah perjuangan harus dilihat dalam kacamata waktu itu. Dengan demikian kita bisa memahami dan menghargai (itu kalau kita belajar sejarah).

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya" kata Bung Karno. Itu benar, coba perhatikan negara-negara maju ditandai dengan banyaknya museum atau monumen sejarah perjuangan bangsa itu. Agar bisa dilihat dan dipelajari oleh generasi penerus. Masa lalu tetap aktual! Bukan ditiru begitu saja, tetapi inspirasinya yang tak lekang dimakan waktu.

Di Gereja MBK, umat "generasi 45" umat yang terlibat maupun yang menjadi saksi tentang pendirian paroki ini masih cukup banyak. Meski "penguasa" paroki datang silih berganti. MBK juga punya sejarah dan sudah dibukukan.Sebuah contoh, dulu sebelum misa mulai para penggembala umat sesekali tampak berdiri di depan gereja menya-pa umat terlebih-lebih anak-anak. Mungkin kuno? karena di zaman digital ini "sapaan" bisa melalui berbagai media elektronik. Boleh saja. Namun jika ada survey, pasti survey itu membuktikan bahwa umat masih butuh sapaan secara personal. Jasmerah! Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi