Piye To, Iki ?

  11 Apr 2013, 13:44

Pekan lalu penulis bertemu dengan teman seangkatan profesi juga berbagai tokoh nasional senior ketika melayat almarhum wartawan Kompas, Abun Sanda. Singkat kata isi pembicaraan tentang situasi negara kita akhir-akhir ini, semua menyam­but dengan senyum kecut.

Dari titik tolak itu para pakar psikologi menyoroti bahwa kepemimpinan nasional kita saat ini bernilai historis psikologis sangat spesifik. Naik pamor sebagai orang teraniaya di zaman Presiden Megawati karena dicap suaminya sebagai jenderal kok seperti "anak kecil", dipinggirkan dimarjinalkan. Psikologis rakyat kita selalu simpati kepada mereka yang teraniaya. Maka sadar dan tak sadar ia menempatkan dirinya sebagai orang yang kalah. Itu terus ditunjukkan hampir 8 tahun belakangan ini. Di mana setiap saat selalu mengeluh dan menempatkan dirinya selalu sebagai seorang yang teraniaya. Dan minta dibela? Sebab itu, kata para pakar lagi, gaya kepemimpinan itu tidak pernah membuat pemimpin menjadi besar. Mau bukti? Ya, lihat saja sendiri jalannya pemerintahan kita sekarang ini.

Simpati kepada orang yang teraniaya ini sangat kuat dalam kolbu rakyat. Trauma masa Orde Baru di mana kalah itu merupakan refleksi kondisi rakyat sendiri yang secara nyata senantiasa terpinggirkan, disakiti, men­jadi korban. Maka rakyat senasib condong bersatu dengan figure yang senasib... Contoh nyata adalah kemenangan Djoko Wi ketika dipojokkan terus menerus sampai isyu SARA. Namun yang satu ini beda, bukannya sebagai pemenang yang kalah? Tetapi mengalah! Caranya mengalah sudah kita lihat dalam memimpin kota Solo. Kepemimpinan yang melayani. Ini dilanjutkan di DKI.

Sesungguhnya tidak ada larangan menjadi pemimpin karena tuah psikologi orang kalah. Namun ketika sudah menjadi pemimpin rakyat mengharapkan jangan terbuai selalu mengidentikkan diri sebagai orang kalah. Namun pemimpin yang mengalah. Siap melayani dan selalu maju ke depan. Tak takut intervensi bukan berlindung dibalik system. Maka ketika penulis menyanyi gaya Jawa Solo tadi. Semua orang tertawa terbahak-bahak. Piye to, iki?...mbuh ora weruh! (ED )

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi