Bencana

  18 Nov 2010, 22:25

Bencana letusan gunung Merapi masih terasa sambung-menyambung sampai saat ini, yang bersamaan dengan bencana tsunami di Kepulauan Mentawai serta sebelumnya banjir bandang di Wasior, Papua. Pengungsi Merapi mencapai 100.000 jiwa lebih dan terlebih-lebih lagi mereka yang kehilangan harta bendanya. Yang terkena bencana pasti akan mengatur ulang hidupnya dari awal lagi. Bencana yang datang silih berganti ini, meskipun kita hanya menyaksikan melalui media TV sudah membuat kita lelah. Dan kelelahan luar biasa bagi saudara-saudara kita yang langsung mengalami musibah ini. Napas saya terasa sesak ketika pekan lalu saat demi saat mengikuti perkembangan Merapi khususnya, dan bencana Wasior maupun Mentawai umumnya. Rasa simpati dan empati, tetapi tak bisa berbuat apapun selain doa.

Rasa prihatin bertambah dalam menyaksikan ulah tingkah pejabat-pejabat kita yang memberi komentar se-enak udel-nya sendiri. Bahkan seorang menteri, Menkominfo, malah dengan begitu PD mengutip ayat-ayat KS yang menyatakan adanya azab dari Tuhan. Bayangkan, kalau kita atau keluarga kita yang tertimpa bencana, pasti kita marah! Apalagi kalau sudut pandang dari iman kepercayaan Kristiani, bahwa Tuhan itu penuh kasih dan Maha Rahman serta Maha Rahim. Belum lagi ketua DPR-nya yang menyalahkan orang-orang yang tahu bahwa wilayahnya rawan bencana, mengapa tetap tinggal di situ? Tetapi yang bersangkutan malah marah-marah di media, ketika ucapannya dibalik. Mengapa menjadi politisi di Senayan, kalau takut gedungnya miring?

Dalam situasi bencana, kita tidak perlu berdikotomi (membenturkan pandangan yang berbeda) antara religiu-sitas dan kuasa alam. Memang ada cantelan, pegangan ayat KS kalau dihubungkan dengan azab Tuhan kepada hambanya, yang memperkuat justifikasi teori azab se-tiap terjadi bencana. Boleh saja dikeluarkan, apalagi kalau dalam suasana pendalaman KS, bukan seperti suasana bencana yang memakan banyak korban. Artinya ngempan papan, lihat situasinya. Itu kalau arif dan bijaksana, terlebih-lebih bagi mereka yang mempunyai jabat-an. Lidahmu juga racunmu! Dalam hal bencana sekarang ini yang dibutuhkan adalah pernyataan solidaritas sosial dalam ikatan kemanusiaan. Memang, jujur saja di luar bencana itu sebenarnya kondisi kita sudah amburadul dari "atas" sampai "bawah". Maka komentar pun juga berlindung atas nama kebebasan demokrasi.Suka-suka gue.

Bencana bagi orang bijak, sebagai kesempatan untuk menyegarkan kembali kemanusiaan kita, lebih menyadarkan bahwa sesungguhnya kemanusiaan itu melintas batas dalam arti luas. Iman dan religiositas kita hendaknya bisa memacu rasa solidaritas itu. Ketulusan, keikhlasan, empati dan simpati, bukan saling pamer kesucian agama masing-masing. Duh, Gusti paringono kuat, Tuhan berikan kami kekuatan mengatasinya untuk semua cobaan yang kami terima.

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi