Jejaring

  12 May 2011, 21:00

Berita kecelakaan pesawat MNA di Kaimana, Papua pekan lalu hanya dalam hitungan jam bisa kita saksikan di TV. Demikian juga ketika gembong teroris Osama bin Laden tewas ditembak, hanya hitungan menit beritanya memenuhi jejaring internet. Pendek kata dalam alam teknologi informasi sekarang ini apapun yang terjadi di belahan bumi manapun, beritanya cepat tersaji. Berita koran harian terutama yang pernah mendominasi era pra digital, kini hanya dijadikan pelengkap saja. Ada yang berkata sinis hare gene masih baca koran!

Benarlah era sekarang ini adalah abad keemasan TIK, teknologi/informasi/komunikasi yang menjadi pujaan peradaban dunia. Dari soal global maupun lokal plus pribadi. Dari anak-anak, remaja, dewasa, tua tak mengenal jender semua mewujudkan dalam bentuk gadget seluler atau internet. Ibarat sudah susah lepas dari gendakannya (teman selingkuh) atau bak ibarat anak-anak yang terus menggagahi barang mainannya. Meski sebenarnya kesenjangan digital masih menjadi ciri kita, bangsa Indonesia. Namun menurut data ada 170 juta pengguna Hp dan jejaring internet sudah berada di tangan 40 juta orang. Jangan heran bisnis digital ini bak jamur tumbuh di musim hujan.

Bagi pekerja media, TIK tak pelak lagi memberi berbagai kemudahan dan dukungan. Bukan saja media profesional dalam arti memang bisnis, tetapi juga media sosial pelayanan seperti WM ini, juga kehidupan menggereja. Abad TIK adalah abad kreatif dan seperti "milik"nya orang-orang kreatif saja? Namun ada pameo di era digital ini mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Mengapa? Itulah ironinya. Justru kesenjangan komunikasi tercipta di mana-mana. Dari lingkungan kecil di keluarga sampai level atas, terutama birokrasi di negara kita. Ekstrimnya para eksekutif, judikatif, legislatif kita kejangkitan wabah menular. Penyakit menular tuna rungu. Tak mampu mendengar terutama aspirasi. Demikian juga di keluarga, suami-isteri, orangtua-anak. Masing-masing sibuk dengan mainannya sendiri.

Memang, ada hubungannya dengan masalah aktual sekarang ini di mana masalah Pancasila diaktualkan lagi. Seperti bangsa Jepang misalnya, modernisasi berjalan seiring dengan jiwa hintoisme. Terutama menjunjung tinggi adat keberadaban, di mana sopan santun menjadi jalinan komunikasi. Maka kesulitan apapun bisa teratasi dengan cepat. Di sana toleransi dan solidaritas tak termakan TIK. Kalau kita ingin menirunya, mulai dari mana, ya? Sudah terlanjur kemelut, sumrawut, amburadul!

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi