Puasa Dan Hak Istimewa

  26 Sep 2010, 19:55

Baru saja membaca tulisan Goenawan Mohamad di rubrik Catatan Pinggirnya (Tempo 16/8/010) tentang "puasa", dan apa yang tersirat dan tersurat di tulisan itu kami alami sendiri. Tanggal 17/8/010 bermobil iring-iringan mengantar jenazah saudara ke kuburan, dari perumahan Mas Naga, Bekasi, menuju TPU Tanah Merah Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Dalam iringan itu tiba-tiba nyelonong orang lain, memotong dan masuk iringan, mobil kami kagok dan membunyikan klakson. Rupanya orang itu marah, berhenti, turun menyetop mobil kami. Setelah kaca mobil kami buka, ia meludahi kami, dan mencoba membuka paksa pintu mobil. Kata orang itu "saya kan puasa, jangan mentang-mentang". Kami kaget, karena di antara saudara kami dalam rombongan ada yang beribadah puasa. Terjadi baku hantam sesaat. Kami menang, karena kami sedang jalan beriringan dengan puluhan saudara-saudara yang sebagian besar juga puasa. Logika waras menyatakan, mengapa tak ada toleransi sedikit memberi jalan pada iringan jenazah?

Pada intinya tulisan Goenawan Mohamad itu berupa oto kritik terhadap kaumnya, yang seolah kalau lagi berpuasa itu semua hak istimewa melekat, tak boleh diganggu. Perilakunya bak anak manja atau dirinya menjadi korban (deprivasi). Mereka minta diperlakukan sebagai kelas tersendiri. Di mana-mana terdapat baliho "hormatilah Bulan Puasa". Puasa sebagai privelese, hak istimewa, orang puasa harus dihormati secara istimewa, orang lain harus bersedia berkorban untuk kepentingan diri mereka. Mereka berpuasa yang katanya untuk Allah (kata Goenawan seharusnya harus ikhlas). Dengan bersandar versi kepada perintah Allah, juga merasa berhak untuk proteksi diri, berhak mengklaim kekuatan di luar diri mereka (melakukan sweeping). Sehingga ketika mengakhirinya masuk Lebaran bisa menyerukan pekik kemenangan.

Lebih jauh Goenawan menyebut kalau puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih dalam diri kita. Puasa sebagai pemangkas keserakahan, reduksi agresivitas menghadapi dunia ini, hedonisme, nafsu duniawi sesuai dengan pesan suci bulan Ramadhan. Maka tak perlu pekik kemenangan ketika mengakhirinya. "Semakin banyak yang dicurahkan manusia untuk Tuhan. Semakin sedikit yang ia sisakan". Puasa jangan dijadikan sebuah periode memperoleh kompensasi istimewa, menginginkan imbalan yang memuaskan, dengan alasan kita kuat selama 30 hari mengekang tubuh dari segala nafsu. Maka hal seperti ini bisa "banyak yang dicurahkan manusia kepada Tuhan. Semakin menggelembung ia jadi subyek yang perkasa dan agresif." Maka jangan salahkan jika ada pandangan, melihat orang puasa seperti orang yang ingin berkuasa.

Buat kita bulan suci Ramadhan ini, mari kita saling menghormati!

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi