Martabat

  18 Nov 2010, 21:13

Masih dalam suasana Sumpah Pemuda 28 Oktober, bangsa ini begitu merindukan masa kepemimpinan anak-anak muda, yang mampu memberikan inspirasi yang menggelorakan semangat. Bukan saja nasionalisme tetapi juga karya nyata apa saja yang bisa membuat martabat bangsa ini terbangun kembali. Media seperti Kompas misalnya, setiap hari membuat profil berbagai anak bangsa yang berprestasi di bidangnya masing-masing -jauh dari glamour pemberitaan ala selebrities. Prestasi-prestasi demikian sudah berlangsung dua dekade lebih, namun gaungnya tak sehebat berita-berita infotainment yang langsung menyeruak ke masyarakat termasuk generasi mudanya untuk dijadikan trend. Yaitu generasi jetset bergaya gaya hedonis, konsumtif, acuh, jalan pintas, cepat tersinggung, merasa paling tahu dan sebagainya. Sehingga yang ada hanya sebuah kontroversi tak berujung, yang tak mampu mengubah apapun. Pantas martabat bangsa semakin merosot kedalam maupun keluar.

Martabat adalah bentuk abstraksi sosial hasil rekayasa manusia (adab manusia), terbentuk melalui bangunan status yang diciptakan sebagai basis adopsi pergaulan manusia beradab. Martabat adalah citra, bangunan konstruksi sosial yang menjadi penting untuk pribadi atau kelompok. Sampai menjadi pertaruhan hidup mati individu maupun kelompok. Martabat sering dihubungkan dengan nama baik, wibawa, kehormatan dan harga diri seseorang atau kelompok. Sebuah elemen dasar citra seseorang/kelompok, yang ditentukan oleh perilaku, budi baik, prestasi yang memunculkan prestise sebagai modal personal. Contohnya? Ya, para bapak-bapak pendiri bangsa seperti Soekarno Hatta, Syahrir, Tan Malaka. Umat Katolik mempunyai Albertus Soegijopranoto, Ignatius Josef Kasimo. Wuuih, contohnya kok, idealbanget?

Bisa menjadikan gap terlalu lebar. Misalnya kalau dibandingkan dengan generasi muda sekarang ini yang lagi menikmati kekuasaan, seperti anggota-anggota DPR. Hasilnya? Hanya jor-joran memperkaya diri melalui korupsi, studi banding tak bermanfaat ke luar negeri. Jauh-jauh pergi ke Yunani untuk belajar etika, wong etika mendengar suara rakyat saja nggak bisa? Merengek-rengek terus untuk memperbesar fasilitas, tak ada puasnya. Bak mengejar martabat, seperti mengejar bayangannya sendiri. Ketika berbicara etika, maka media seperti WM ini wajib pula mengingatkan khususnya umat MBK, bahwa martabat itu bisa dikejar dengan perbuatan nyata, perilaku/budi baik, karya pelayanan yang membuat kita menjadi terhormat. Sederhana saja, bukan?

(ED)

Lihat Juga:

Editorial (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi