Saya Indonesia, Saya Pancasila

 Sigit Kurniawan  |     4 Jun 2017, 03:30

Gerakan mengamalkan Pancasila seharusnya menggugah kesadaran umat Gereja bahwa dirinya menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat Indonesia. Kita dipanggil untuk tidak asyik sendiri, tapi berani keluar untuk bergandengan tangan dengan orang-orang yang berkehendak baik lintas agama, suku, dan golongan untuk merawat Pancasila.

Saya Indonesia, Saya Pancasila

Seruan untuk menegaskan kembali Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara makin besar di tengah fenomena intoleransi yang berpotensi memecah belah bangsa Indonesia. Ujaran kebencian (hate speech), pernyataan rasis, berita bohong, intimidasi, teror, sampai perilaku kekerasan menjadi fenomena jamak di era sekarang. Bahkan, pada kadar tertentu, hal-hal itu dengan enteng dilakukan oleh orang-orang tanpa merasa risih dengan norma, etika, dan rasa kemanusiaan.

Salah satu fenomena yang sangat memprihatinkan - khususnya bagi penulis - adalah ketika ujaran kebencian itu diajarkan kepada anak-anak. Ketika sebagian anak-anak diajari untuk membenci dan bahkan berteriak-teriak untuk membunuh seseorang, inilah wujud kebiadaban orang-orang dewasa. Ini juga menjadi kritik pedas bagi dunia pendidikan kita - baik sekolah maupun keluarga.

Namun, kita masih optimistis karena di tengah gencarnya seruan inteloleran justru gerakan-gerakan dan seruan toleran dari orang-orang lintas agama dan golongan makin menguat. Gereja - dalam hal ini Keuskupan Agung Jakarta - patut diapresiasi karena menjadikan Pancasila sebagai bagian tak terpisahkan dari Arah dan Dasar keuskupan. Seruan untuk mengingat dan mengamalkan Pancasila diintegrasikan dengan pesan-pesan dalam liturgi Gereja. Gerakan "Makin Adil, Makin Beradab", misalnya, menjadi langkah bagus. Gerakan rosario merah putih dan mendoakan Indonesia juga merupakan langkah mulia.

Jebakan Asyik Sendiri

Ini menjadi momentum untuk membangun kesadaran bersama bahwa Gereja tidak hidup sendirian sebagai komunitas eksklusif atau ibarat sebuah pulau terpencil sebagai minoritas. Doa-doa itu bagus, tapi tidak cukup.

Ini menjadi momentum Gereja untuk mengenang kembali perjuangan tokoh-tokoh gereja perdana Indonesia yang turut berjuang memerdekakan Indonesia dari penjajahan. Jangan lagi terjebak pada jargon minoritas-mayoritas. Tapi, ini menjadi momentum membangun semangat kebersamaan dengan umat beragama lain, suku lain, komunitas lain, sebagai satu kesatuan bernama Indonesia. Almarhum Mgr. Soegijopranoto, SJ - seorang pahlawan nasional - mengatakan, seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia. Itulah yang harus kita hidup sebagai seorang Katolik di Indonesia.

Semangat minoritas sering menjebak kita untuk takut keluar dari kelompok kita dan kemudian asyik sendiri dan tenggelam dengan kegiatan-kegiatan internal. Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo pada peringatan Hari Bumi yang lalu mengatakan, hendaknya umat berani keluar untuk bersama-sama umat lain mengupayakan kehidupan yang baik, khususnya di tingkat lingkungan. Seksi-seksi yang punya jejaring ke luar lintas agama, bisa dioptimalkan lagi peranannya. Kegiatan lintas agama perlu ditonjolkan lagi.

Ajakan Presiden Joko Widodo yang mengucapkan "Saya Indonesia, Saya Pancasila" menarik untuk kita renungkan. Kita bukan hanya menjadi umat MBK saja, tapi kita juga bagian dari lingkungan yang lebih luas. Kita bukan hanya orang Katolik saja, tapi kita juga menjadi orang Indonesia yang beragam. Kita bisa belajar dari teman-teman muda Nahdatul Ulama (NU) yang proaktif mengkampanyekan keberagaman di Indonesia saat ini di media-media sosial, berani menyuarakan kebaikan dan kebenaran, berinisiatif untuk menggandeng umat lintas agama, dan sebagainya.

Nah, beranikah kita mengucapkan "Saya Indonesia, Saya Pancasila"? Atau, kita lebih senang asyik dengan kelompok sendiri?

Lihat Juga:

Fokus (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi