Membenahi Diri, Melawan Korupsi

  11 Jun 2017, 05:03

Korupsi. Bayangan kita jika mendengar kata 'korupsi' mungkin akan melayang ke operasi tangkap tangan KPK, para tahanan berbaju rompi oranye, sidang pengadilan, dan entah apa lagi yang mengerikan. Mungkin juga yang terbayang adalah uang triliunan rupiah, wajah dan nama-nama pejabat atau tokoh ternama, bahkan juga tokoh-tokoh agama.

Membenahi Diri, Melawan Korupsi
Membenahi Diri, Melawan Korupsi (2)

Padahal, korupsi tak hanya menyoal uang banyak atau nama besar. Korupsi, yang oleh Transparency International dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, dapat terjadi di manapun dan melibatkan siapapun. Definisi, dampak dan motivasi korupsi dapat berbeda-beda.

Adakah Korupsi di Gereja?

"Tidak mungkin ada korupsi di Gereja, kan semuanya hamba Allah," kata seorang ibu dengan tegas, ketika ditanya soal kemungkinan adanya korupsi di Gereja. Sementara itu, seorang aktivis muda paroki justru mengiyakan, "Wah banyak korupsi. Terutama kalau aturannya tidak jelas dan pengawasannya kurang."

Pengalaman umat memang dapat berbeda-beda. Namun ketika korupsi telah menjadi 'masalah umum' di Indonesia, Gereja Katolik pun waspada. Oleh karena itulah, dalam Sidang Tahunan Para Uskup (November 2016), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menerbitkan sebuah Seruan Pastoral berjudul "Stop Korupsi: Membedah & Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif." Seruan Pastoral itu dikembangkan menjadi sebuah Nota Pastoral yang diterbitkan 2017 ini.

Dalam Nota Pastoral ini, disebutkan tiga hal penting terkait praktik korupsi, yakni bahwa orang melakukan korupsi karena: adanya kebutuhan, sistem yang membuka peluang, serta keserakahan. Warta Minggu pun mewawancarai sejumlah imam, pengurus dan aktivis paroki di berbagai tempat, bahkan tak hanya di kota Jakarta. Beragam contoh tindakan koruptif pun dikemukakan.

Terkait kebutuhan, misalnya penggunaan dana yang tidak sesuai tujuan. Dana untuk orang miskin digunakan untuk tujuan yang lain. Dana intensi misa, iura stolae, kolekte maupun honor juga dapat tidak digunakan sesuai peruntukan atau aturan. Barang pemberian umat untuk karya Gereja dapat pula digunakan untuk keperluan pribadi.

Yang berhubungan dengan sistem yang membuka peluang korupsi, contohnya pembuatan proposal kegiatan dan laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang tak jujur, atau tak disiplin. Termasuk di antaranya, pengajuan dana Hari Pangan Sedunia (HPS), Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK) oleh orang yang tidak berhak. Dicontohkan juga korupsi waktu kerja pastor maupun pegawai, yang dikorbankan untuk urusan pribadi.

Terkait keserakahan, misalnya ditemukan kasus-kasus umat yang masuk menjadi anggota panitia pembangunan gereja (PPG) agar dapat menjadi supplier. Kalaupun belum terbukti ada kecenderungan tersebut, "Situasi itu rentang adanya konflik kepentingan," tutur seorang pastor paroki di kawasan Jakarta Selatan.

Best Practices Melawan Korupsi

Berbagai upaya pun dilakukan untuk melawan korupsi, di antaranya melalui menjadi praktik terbaik (best practices) yang dapat menginspirasi. Keuskupan misalnya, memisahkan keuangan paroki dan pastoran. Dibiasakan pula penggunaan transaksi e-banking, pembuatan neraca serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan kontrol yang ketat. Bahkan ada paroki yang membuat Kelompok Penghitung Kolekte. "Intinya, untuk Gereja itu yang perlu diperhatikan adalah moral pengurus, peraturan yang berlaku serta pengawasannya," tutur seorang romo kepala paroki di Yogyakarta.

Kendati upaya mengantisipasi korupsi sudah dilakukan, bisa saja tetap terjadi korupsi. Tentang hal ini, sanksi hukum tak selalu dapat ditempuh. "Sanksi sosial lebih berat," ujar seorang romo paroki. Korupsi pun sungguh perlu diberantas sejak akarnya.

Tak heran jika Nota Pastoral 2017 menyebut keluarga sebagai 'sekolah iman', karena dalam keluarga-lah anak-anak tumbuh dan dibesarkan dengan nilai-nilai tertentu. Jika nilai-nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, atau ugahari tak ditanamkan, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif bahkan juga serakah, yang mengarah pada mentalitas koruptif.

Selain keluarga, sekolah dan tempat kerja pun perlu menjadi lahan memerangi korupsi. Sekolah diharapkan menjadi tempat pembelajaran bagi pribadi agar menjadi matang. Tempat kerja diharapkan menjadi tempat untuk membangun komitmen pribadi maupun bersama, serta bekerja dengan penuh dedikasi.

Bagaimana dengan Gereja? Sebagai komunitas umat beriman, Gereja diharapkan untuk mampu mengembangkan budaya alternatif yang melawan budaya koruptif. Konkretnya, tentu kembali ke situasi khas masing-masing paroki atau keuskupan. Temuan dan upaya melawan korupsi dapat di-sharing-kan, sehingga Gereja menjadi komunitas yang belajar. Dengan demikian, perilaku anti-korupsi suatu saat akan dapat menjadi habitus umat Katolik. (Helena D. Justicia)

Lihat Juga:

Fokus (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi