Mengenang Tragedi Mei 1998: Jangan Lelah Melawan Lupa!

  21 May 2017, 01:36

Sentimen rasial dan politik adu domba yang terjadi pada tahun 1998 tampak kembali diembuskan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab pada saat ini. Saatnya, seluruh rakyat lintas agama, suku, ras, dan antargolongan bergandengan tangan untuk melawan politik adu domba ini. Pancasila harus dijadikan rujukan utama dalam hidup bersama mengingat Pancasila menjadi dasar negeri ini berdiri. Jangan biarkan negeri ini bubar karena kita tak berani dan tak kuat menjaga dan merawat dasar negara ini.

Mengenang Tragedi Mei 1998: Jangan Lelah Melawan Lupa!

Tragedi Mei 1998 sudah berlangsung 19 tahun yang lalu. Bagi yang masih mengalami tahun itu, mungkin masih ingat dengan masa paling gelap menjelang dan sesudah kediktaktoran Soeharto tumbang akibat aneka krisis dan aksi mahasiswa di seluruh pelosok Indonesia.

Tragedi 1998 yang diwarnai dengan kerusuhan, sentimen rasial, perkosaan, pembakaran toko dan pusat-pusat belanja, penembakan mahasiswa, itu masih menyisakan trauma bagi para korban sekaligus misteri karena para pelaku dan dalang kerusuhan sampai saat ini tidak pernah diusut, ditangkap, maupun diadili. Padahal, menurut temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kala itu, ada indikasi keterlibatan aparat keamanan dalam hal ini militer dalam kerusuhan tersebut yang mana di saat kerusuhan aparat keamanan kurang optimal dan justru tampak membiarkan. Bahkan, kerusuhan yang terjadi di berbagai kota di Indonesia itu memiliki pola yang sama yang mengindikasikan adanya orang-orang terlatih dan terorganisir.

"Mei 1998 bisa dibilang sebagai puncak Reformasi 1998. Krisis ekonomi 1997 yang ditandai dengan naiknya harga barang-barang pokok, krisis kepercayaan kepada pemerintah Orde Baru makin meningkat. Muncullah perlawanan-perlawanan mahasiswa yang makin membesar. Kerusuhan besar pecah pasca penembakan mahasiswa Trisakti," kata Savic Alielha, Mantan Aktivis Mahasiswa '98 dan Direktur Situs Nahdatul Ulama (NU) Online kepada Warta Minggu, Sabtu (13/5/2017).

Savic menyayangkan sampai pemerintahan saat ini, penyelesaian hukum dan korban-korban Tragedi Mei tersebut masih tidak jelas. Ia mengatakan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum, sesaat, dan sesudah Tragedi Mei seperti Tragedi Semanggi nyaris tidak ada kemajuan. Sampai sekarang, temuan Komnas HAM belum diproses sama sekali. Justru para korban sendiri berinisiatif memperjuangkan keadilannya sendiri seperti yang dilakukan oleh Maria Sumarsih, ibunda Wawan (mahasiswa Atmajaya Jakarta yang ditembak mati oleh militer) pada Tragedi Semanggi 1998, dengan menggelar Aksi Kamisan di depan istana bersama para korban lainnya.

"Aksi tersebut praktis tidak pernah direspons. Ironisnya, beberapa tokoh yang disinyalir paling bertanggung jawab pada terjadinya penembakan dan kerusuhan tersebut, justru hari ini menjadi elit-elit politik di negeri ini. Saya tidak habis pikir kenapa Presiden Joko Widodo mengangkat Purnawirawan Jenderal Wiranto sebagai Menkopulhukam. Padahal, dia sebagai panglima waktu itu yang bertanggung jawab terhadap penembakan dan kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998," kata Savic.

Harusnya, sambung Savic, orang-orang seperti Wiranto ini justru harus diusut, dimintai keterangan, dan kalau memang dia bersalah, harusnya dia dihukum. "Saya kira ini merupakan kompromi politik yang sangat buruk untuk menjadi pelajaran kita. Sementara itu, di sisi lain, kita mengenal Purnawiranan Jenderal Prabowo yang juga dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa penculikan yang bahkan di militer saja, dia dipecat, dan dia sekarang menjadi ketua partai dan pernah maju menjadi salah satu kandidat presiden. Ini menurut saya aneh, seolah-olah negara ini tidak memiliki figur yang lebih baik daripada mereka," kata Savic.

Ia menambahkan, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kekerasan, penculikan, kerusuhan, maupun ketidakadilan di era Orde Baru harusnya dimintai keterangan dan diproses hukum. Mereka, kata Savic, berhak membela dirinya kalau memang mereka tidak bersalah. Tapi, proses hukum harus tetap dijalankan.

"Sayangnya, sampai hari ini, kasus kekerasan yang mengiringi Reformasi 1998 seolah ditutup dan tak ingin dibuka. Dan, ini menyalahi prinsip keadilan korban. Negara harus memproses ini untuk memenuhi rasa keadilan para korban. Dan tentunya menjadi pelajaran bagi para penguasa dan pihak pemegang senjata tidak seenaknya sendiri untuk memuntahkan peluru dan melakukan kekerasan. Ini menjadi PR bagi pemerintah Jokowi yang belum menunjukkan akan dia lakukan," katanya.

Waspada Terhadap Sentimen Rasial dan Adu Domba

Tentu saja, sebagai bangsa yang bijak, kita tidak boleh melupakan tragedi kemanusiaan itu. dengan tidak lupa, kita bisa mencegah peristiwa serupa ini tidak terulang lagi pada era sekarang atau di masa depan. Sebab itu, menurut Savic, hal yang penting selain tidak melupakan tragedi kemanusiaan itu adalah merefleksikan peristiwa itu sebagai modal dalam kehidupan sekarang ini.

Pertama, menurut Savic, jangan ada lagi pendekatan kekerasan atau senjata digunakan oleh aparat dalam menangani persoalan. Mengingat hal ini harganya sangat mahal. "Sekali tentara atau polisi dikasih senjata yang isinya peluru tajam, maka mungkin itu akan ada sekian banyak nyawa melayang. Dan, itu yang seharusnya tidak kita lakukan. Saya berharap ini tidak terjadi lagi," katanya.

Kedua, jangan sampai kita mudah dimanipulasi atau dibodohi dengan setimen-sentimen rasial. Pada tahun 1998, sambung Savic, seiring dengan gelombang demonstrasi mahasiswa, di berbagai tempat pecah kerusuhan di mana korbannya dari saudara-saudari kita dari etnis Tionghoa. Seolah-olah yang bertanggung jawab dan bersalah atas kebobrokan di negeri ini adalah saudara kita Tionghoa. Padahal yang bersalah atas ketimpangan ekonomi, kebobrokan politik, dan kebobrokan hukum adalah negara dengan para pejabat negara, sipil, maupun militer. Tetapi, pada tahun 1998, hal itu dibelokkan seolah-olah kesalahan ada para etnis tertentu dan kemudian pecah kekerasan berbau rasial," kata Savic.

Payahnya, menurut Savic, sentimen-sentimen rasial ini yang kemudian masih dipelihara hingga sekarang. Kita tahu saat ini muncul sentimen negatif yang sama yang saat ini terjadi dalam dinamika perpolitkan Indonesia pra dan pasca Pilkada serentak -- khususnya Pilkada DKI yang memuat drama dipenjarakannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas tuduhan penistaan agama. Sentimen berbau rasial dan agama kembali dimunculkan oleh para politikus jahat yang ingin mengadu domba rakyat demi mengejar kepentingan kekuasaan politik maupun ekonomi.

"Kekuasaan selalu butuh kambing hitam. Orang-orang yang sebenarnya berlumur dosa dan darah butuh pembelokan isu dan butuh kambing hitam sehingga dia bisa selamat dan kelak bisa berkuasa lagi. Dan, itu yang terjadi dengan 1998. Mereka yang tangannya berlumurah darah dan kekayaannya dihasilkan dari korupsi bisa selamat dengan cara membelokkan isu menjadi isu rasial," katanya.

Dan, Savic menengarai kecenderungan yang sama diembuskan di era sekarang dengan cara sentimen-sentimen berbau rasial dan agama. Ini berpotensi menjadikan banyak orang yang tidak bersalah justru menjadi korban. "Di mana-mana, isu rasial ini tidak bisa dibenarkan," katanya.

Savic berpesan agar kita saat ini tidak gampang dipancing dengan kebencian-kebencian yang dibungkus dengan setimen-sentimen rasial dan agama dan waspada terhadap strategi mengadudomba rakyat Indonesia. Siapa yang diuntungkan dengan adu domba ini? Tentu saja kita bisa menerkanya.

Lihat Juga:

Fokus (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi