Tujuh Dosa Mematikan: Rakus

 Yeremias Jena  |     1 Jul 2017, 18:55

Melanjutkan topik-topik Warta Minggu tiga edisi sebelumnya, edisi ini akan membahas kerakusan (greed/avarice) sebagai dosa pokok atau dosa mematikan yang berhubungan dengan indera penglihatan. Mari kita ingat kembali bahwa tujuh dosa pokok berhubungan dengan nafsu atau keinginan tubuh (dorongan seks, ketamakan, dan kelambanan atau kejemuan), nafsu atau keinginan mata (kerakusan), dan kesombongan hidup (kesombongan, kedengkian, dan kemurkaan). Bahasa populernya nafsu tubuh berhubungan dengan dorongan seks, harta atau uang dan kekuasaan; nafsu mata berhubungan dengan penumpukan kekayaan; dan nafsu kesombongan hidup berhubungan dengan keinginan untuk menyamai atau menyerupai Allah (bdk. Kej 3:6; 1Yoh 2:16).

Tujuh Dosa Mematikan: Rakus

Kerakusan sebagai dosa dalam tradisi moral Gereja Katolik dihubungkan dengan nafsu atau keinginan yang tak-teratur dalam menumpuk kekayaan material. Disebut sebagai dosa pokok karena dapat menyebabkan terjadinya dosa-dosa lainnya seperti pencurian, korupsi, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga sifat kikir dan tidak mau berbagi. Bahasa Latin menyebut jenis dosa ini sebagai avaritio, berakar pada kata avarus, dengan avere sebagai kata kerja, yang artinya 'memiliki hasrat internal yang sangat kuat' (to crave) setelah terpapar pada sesuatu. Di sini kita sekarang mengerti mengapa jenis dosa ini berhubungan dengan indera penglihatan (mata). Artinya, setelah melihat suatu kekayaan/kemewahan, seseorang memiliki hasrat yang sangat kuat dalam dirinya untuk mendapatkan kemewahan tersebut. Umumnya kata ini digunakan untuk mendeskripsikan sifat manusia yang tidak pernah merasa puas dalam mengejar dan menumpuk kekayaan material.

Memiliki harta atau barang-barang material bukanlah hal yang salah. Benda-benda material yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia bukanlah sesuatu yang jahat atau buruk pada dirinya. Benda-benda tersebut bernilai instrumental, dan nilai itu diberikan manusia. Santo Thomas Aquinas membedakan 'kekayaan alamiah' (natural wealth) dan 'kekayaan buatan' (artificialwealth). Kita pantas memiliki benda-benda tertentu karena bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti makanan, pakaian, perumahan. Di luar dari itu berhubungan dengan apa yang dalam ekonomi modern disebut sebagai konsumerisme dengan 'aku beli maka aku ada' sebagai slogannya yang terus menciptakan berbagai keinginan dan kebutuhan dalam diri manusia.

Tidak mudah menjelaskan sifat rakus sebagai dosa. Ada berbagai pertanyaan mendasar yang harus dijawab, misalnya, apa ukurannya seseorang yang memiliki kekayaan material dianggap rakus atau tidak rakus? Jika ukurannya bersifat subjektif, bukankah sifat rakus tidak bisa disematkan pada perilaku seseorang?

Mari kita ingat bahwa ini bukanlah sebuah perkara hitam-putih, tetapi persoalan bagaimana setiap kita mampu memeriksa batin secara saksama dan jujur. Apa yang dideskripsikan di sini hanyalah kerangka besarnya saja. Dengan sikap semacam ini, mari sekarang kita pertimbangkan empat hal berikut. Pertama, sifat rakus berhubungan dengan hasrat yang tak-terpuaskan untuk memiliki dan menumpuk kekayaan material; juga berhubungan dengan sikap posesif terhadap kekayaan tersebut (bdk Luk 12:34).

Kedua, Allah peduli pada kita bukan karena nilai negatif atau nilai jahat yang dikandung benda-benda material, tetapi karena kerentanan kita untuk dikuasai oleh benda-benda material tersebut. Misalnya, memiliki mobil itu baik. Akan menjadi tidak baik jika pengeluaran bulanan terganggu karena menyicil mobil, bekerja melebihi kemampuan yang justru dapat membahayakan kesehatan diri hanya karena cicilan mobil, korupsi atau penipuan untuk membeli mobil, dan sebagainya. Ketiga, hasrat tak-terbendung dalam menumpuk kekayaan material berpeluang menyebabkan terjadinya dosa-dosa lain seperti pencurian, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan ekonomi, bahkan sikap kikir dan tidak berbagi. Keempat, manusia dapat menaruh hati dan hidupnya pada kekayaan material. Dalam hidup rohani dikenal istilah 'kelekatan' atau 'sifat melekat' (attachment) pada sesuatu yang disukai. Peringatan Yesus tentang sukarnya orang kaya masuk Kerajaan Allah (Mrk 10:23) berhubungan dengan sikap kelekatan pada barang material semacam ini. Dalam arti ini, orang super kaya yang bisa membeli apa saja pun tahu membedakan manakah yang disebut kebutuhan (need) dan manakah yang disebut keinginan (want).

Gereja Katolik mengajarkan kita untuk bersikap 'murah hati' (generosity) dengan sesama kita. Sikap murah hati inilah keutamaan yang bisa menangkal daya kekuatan kerakusan. Dalam tradisi Barat Klasik sampai zaman skolastik, sifat murah hati terbentuk dari perpaduan sifat 'tidak terlalu kikir' dan 'tidak terlalu boros'. Perhatikan berbagai aksi karitatif yang dilakukan banyak pesohor filantropik di dunia. Mereka mengalokasikan jumlah tetap dari kekayaan untuk karya-karya karitatif entah untuk membasmi penyakit menular tropis, memerangi kemikinan pasca perang sipil, memajukan pendidikan di dunia ketiga, dan seterusnya. Mereka tidak hanya mampu menyeimbangkan upaya meningkatkan dan mempertahankan kekayaan material, tetapi juga kesadaran tentang pentingnya sikap 'ketidaklekatan' (detachment) atau sikap lepas-bebas dalam diri, bahwa meskipun kaya raya, dia tidak menaruh hati dan kelekatannya pada harta kekayaan tersebut.

Pada akhirnya, baik yang kaya maupun yang miskin, kita dituntut untuk mampu membedakan manakah yang utama/pokok dan manakah yang artifisial dalam hidup ini. Kita diajak untuk tidak melekatkan hati pada kekayaan material, dan bersikap murah hati pada sesama.

Lihat Juga:

Kolom Iman (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi