Menjadi Manusia

 Ign Sunito  |     22 Sep 2015, 10:36

Menjalani masa pensiun penulis bertemu lagi dengan teman-teman akrab semasa kuliah, yang ketika masih pada aktif menduduki berbagai jabatan profesi. Ada benang merahnya ketika pada pensiun, kembali seperti dulu lagi seperti tidak "butuh apa-apa" karena waktu itu kita sama-sama Marhennya (istilah Bung Karno untuk petani miskin) karena memang tidak ada yang harus disombongkan. Namun ketika pada aktif bekerja, ada satu dua orang yang sombong malah sombong banget.Setiap ketemu selalu memamerkan mobil barunya.

Hal yang sama dialami oleh isteri penulis, bahkan suatu saat ketika penulis mengantarkan di acara semacam "reuni", penulis dikenalkan kepada salah satu temannya, wanita, yang jalannya sudah dituntun-tuntun.

Isteri penulis bisik-bisik," dia itu dulu sombong banget. Berteman selalu memilih-milih. Aku kaget, kok, sekarang seperti ini? " Penulis juga heran karena melihat kondisi fisiknya seperti tak tersua tanda-tanda kesombongan? Nah, justru itu dengan para teman penulis kami saling bercanda bahwa sekarang ini kami benar-benar menjadi manusia. Arti harafiahnya kami sudah meninggalkan semua atribut/predikat atau kerennya masalah keduniawian. Dan ujung-ujungnya jika mempunyai sesuatu hanya untuk tujuan satu, membahagiakan cucu. Penulis tak kecil hati ketika diledek (serius) oleh teman-teman seprofesi dulu, bahwa masa pensiun kok, sekarang jadi penulis ecek-ecek hanya gara-gara rajin nulis di WM. Sebagai umat Katolik ingat kata-kata Yesus, " Siapa Aku ini? "

Berbicara menjadi manusia, ingat pernyataan Gus Mus ulama NU (KH Mustofa Bisri) tentang anggota DPR kita. " Pimpinan, anggota DPR, dan semua yang diatas harus menjadi manusia dulu ", demikian ucapan Gus Mus, yang menurutnya menjadi manusia adalah mengenali dirinya sendiri dengan segala sisi-sisi kemanusiaannya sehingga mampu memanusiakan orang lain dan tidak menganggap dirinya sendiri paling benar. Ini sebuah " tonjokan " luar biasa dalam menyoroti tingkah laku anggota DPR, terlebih unsur pimpinannya. Sindiran Gus Mus itu adalah aspirasi kita, aspirasi rakyat yang dulu (kena kibul) waktu memilih mereka. Meminjam istilah pengamat politik J. Kristiadi, anggota DPR itu memang berwujud manusia, tetapi belum menjadi manusia yang mampu berdaulat terhadap dirinya sendiri. Belum mampu menyangkal dirinya sendiri, mengusir pamrih pribadi, mengendalikan kerakusan, mempergunakan ketajaman nalar, dan daya empati untuk mengendalikan nafsu mereguk kenikmatan kekuasaan.

Ujung- ujungnya adalah hedonisme, nafsu kekuasaan dan harta yang seolah-olah mumpung punya kekuasaan dan kesempatan. Lihat saja para koruptor terutama pejabat yang tetangkap basah KPK. Korupsi, padahal mereka itu sudah kaya, tidak ada rasa cukup sepertinya, takut miskin jika nanti sudah tidak punya jabatan lagi, kepengin hartanya nanti bisa dimiliki tujuh turunan. Wouw! Maka kita kembali ke inti dari tulisan ini. Menjadi manusia jangan menunggu sampai kita pensiun. Kalau penulis bersama teman-teman pensiunan sudah secara gemilang mengatasi godaan duniawi. Dan penulis begitu senang bahwa diantara teman dengan berbasis integritas,komitmen, dedikasi, dan semua potensi tetap diaktualisasikan dalam kehidupan sosial.

Terlebih-lebih teman seiman yang tetap membaktikan dirinya dalam karya pelayanan Gereja.

Lihat Juga:

Renungan (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi