Menjadi Jenius, Apa Makanannya?

  27 Oct 2010, 22:39

"Aku punya saudara almarhum Prof. Achmad Baiquni, ahli fisika nuklir pertama Indonesia yang reputasinya terkenal ditahun 1960an, mahaguru Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Gajah Mada. Pernah menjadi Dirjen BATAN, Badan Tenaga Atom Nasional dan Dubes RI di Swedia, tempat penganugerahan Hadiah Nobel. Kebetulan juga akrab bergaul dengannya, dan sejak kecil aku mengaguminya. Dasar saya ini sekolahnya tidak pandai-pandai amat, saya pernah bertanya, "Anda itu begitu pinter banget, makan apa sih?". Ia ketawa ngakak,"manganku yo, sego podo karo kowe!"(makanku ya, nasi sama dengan kamu).

Menjadi Jenius, Apa Makanannya?

Mengapa kenangan ini menjadi pembuka renungan, karena memang bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia, HPS 16 Oktober. Juga bulan-bulan ini diumumkan pemenang Hadiah Nobel oleh The Royal Swedish Academy of Sciences, badan tetap yang menangani Hadiah Nobel. Acara tahunan penghargaan tertinggi bagi para akademisi yang menemukan formula-formula baru untuk tujuan kemajuan dan kemanusiaan. Kita pantas kagum karena karya-karya mereka sangat mengilhami, visioner pandangan jauh ke depan, bermanfaat bagi hari depan umat manusia. Hampir setiap tahun ketika saya membaca tulisan tentang para pemenang Nobel, terutama formula yang diketemukan, lagi-lagi otak saya tidak nyampek. Lagi-lagi saya bergumam, "mereka itu makanannya apa, ya? Kok, pintere kepati-pati"(jenius banget).

Contoh pemenang Nobel 2010, Andre Geim (52) dan Konstantin Novoselov (36), pasangan sarjana Rusia yang kini mengajar di Universitas Manchester Inggris. Menemukan material karbon yang ultra tipis, dikenal sebagai material ultra kuat 100 kali lipat katimbang logam. Dikatakan Graphene sangat berguna atau vital buat komputer supercepat dan layar sentuh yang transparan. Bisa dikembangkan untuk pembuatan kapal terbang maupun mobil. Anda bisa membayangkan tidak? Syukur kalau bisa. Karena saya tidak! Lebih kagum lagi Novoselov nanti akan menjadi pemenang termuda dalam sejarah Hadiah Nobel yang sudah berumur seabad lebih.

Maka, ketika hal ini dihubungkan antara HPS dengan Nobel, adalah sebuah paradoks antara kemajuan teknologi dengan situasi rawan pangan. Lalu kita hubungkan dengan kehidupan menggereja kita, bahwa di luar altar terjadi situasi sosial yang patut dicermati. Spiritualitas keagamaan jangan sampai menjadikan kita steril, tetapi bisa direfleksikan sebagai pergulatan yang bersifat pragmatis untuk berinteraksi dengan masalah-masalah sosial. Kaum agamawan juga harus sadar bahwa generasi digital sekarang ini bosan dengan kotbah retorika berpanjang-panjang yang tanpa ada kaitannya dengan masalah sosial aktual. Kita kutib kata Fernando Lugo, bekas uskup yang kini menjadi presiden Paraguay: "Kecemasan akan adanya kontaminasi keagamaan tetap penting. Mengapa harus cemas dengan "rok mini" masuk gereja, tetapi tidak ada sensivitas terhadap kemiskinan/kelaparan yang begitu menyiksa lahir batin rakyat." Memang, kita tidak perlu mencontoh Amerika Latin. Wong, ini namanya juga sebuah renungan!

(IG. Sunito)

Lihat Juga:

Renungan (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi