Seminar Misteri Tubuh dan Darah Kristus

 Romo Robert Pius Manik O.Carm / Panitia Seminar  |     16 Jul 2017, 03:22

Kita hidup pada zaman teknologi yang cukup canggih. Ketergantungan manusia zaman kita sekarang dengan teknologi sudah sangat kuat. Di satu sisi, kemajuan teknologi sangat menolong banyak orang, termasuk menolong Gereja juga. Di sisi lain, bisa saja terjadi manusia tidak mampu mengendalikan teknologi dan sebaliknya teknologi yang mengendalikan manusia. Salah satu dampak dari teknologi ialah banyak tugas pekerjaan bisa dikerjakan dengan sangat cepat, atau informasi juga bisa disampaikan dengan sangat cepat tanpa berpikir informasi itu benar atau salah, jarak dan waktu menjadi sangat dekat dan singkat akibat kemajuan teknologi. Tanpa kita sadari, manusia zaman kita seakan dipaksa berpacu dengan waktu dan harus secepat mungkin mengerjakan pekerjaannya. Akibatnya manusia tidak punya waktu yang cukup untuk merefleksikan hidupnya bahkan tidak punya waktu untuk merenungkan pekerjaannya yang dia kerjakan. Kita hidup di zaman yang mengagungkan hasil akhir dari usaha pekerjaan kita sedangkan prosesnya sering kali diabaikan. Maka banyak orang yang memiliki mentalitas instan, hanya ingin melihat hasil akhir dan tidak mau melewati proses.

Mentalitas instan dan mengabaikan proses yang sangat kuat pada zaman kita sekarang juga ternyata masuk ke dalam Gereja. Banyak orang sekarang sudah merasa tidak perlu melakukan refleksi iman. Duduk diam dalam hening di depan Sakramen Mahakudus dianggap membuang-buang waktu dan tidak ada gunanya karena tidak ada hasilnya. Datang ke gereja hanya karena latah, "Aku pergi ke gereja karena orang lain juga seperti itu sehingga aku tidak terlihat aneh kalau tidak ke gereja!" Ada yang ke gereja karena sedang berspekulasi, "Syukur-syukur kalau ada pahalanya (hasilnya, misalnya doaku dikabulkan), kalau gak ada hasilnya ya gak apa-apa!" Akibat dari pola pikir yang seperti ini membuat seringkali umat sulit diajak aktif dalam kegiatan Gereja. Di sisi lain, ada juga orang yang sangat suka datang ke gereja dan melakukan banyak kegiatan rohani dan kegiatan devosi, akan tetapi motivasi ingin mengejar hasil yang sifatnya sangat lahiriah dan sangat duniawi, lupa bahwa kegiatan Gereja adalah kegiatan rohani, sehingga kalau semua kegiatan rohani yang dia lakukan tidak membuahkan hasil seperti yang dia inginkan maka dia menjadi kecewa dan meninggalkan Gereja bahkan meninggalkan Tuhan. Kita hidup di zaman manusia hidup dengan sangat mendangkal, sangat lemah dalam merefleksikan hidup.

Fenomena lain yang sering kita jumpai adalah adanya kecenderungan di Indonesia untuk mengeksploitasi agama atau simbol-simbol religius. Kita hidup di tengah dunia tempat kata-kata religius diumbar sebanyak mungkin, nama Tuhan disebut-sebut dan dipanggil ribuan kali setiap hari, akan tetapi buah-buah perbuatan dari orang yang sering menyebut nama Tuhan justru sangat jauh dari nilai-nilai moral. Ini menjadi mengindikasikan bahwa seringkali hal-hal rohani dieksploitasi untuk agenda pribadi atau kepentingan kelompok. Padahal seharusnya kegiatan rohani membawa kita untuk sujud di hadapan Tuhan. Kegiatan rohani seharusnya membuat kita berpusat pada Tuhan bukan pada diri kita atau agenda kita dan kemudian kegiatan rohani itu harus berdampak positif kepada semua orang di sekitar kita. Itulah ibadat yang sejati yaitu membawa umat berpusat pada Allah dan mempersembahkan hidup kepada Allah, lalu kemudian diekspresikan dalam tindakan nyata kepada sesama dalam hidup sehari-hari. Itulah yang terjadi dengan Yesus ketika Dia melakukan perjamuan malam terakhir dengan para murid. Yesus mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa-Nya kemudian menyelamatkan semua orang. Itu juga yang terjadi dengan peristiwa salib, Yesus mengorbankan diri dan mempersembahkan diri kepada Bapa untuk keselamatan kita. Peristiwa ini sekarang kita hayati dalam perayaan Ekaristi.

Ekaristi adalah sumber dan puncak perayaan iman kita. Kita diajak untuk bersatu memusatkan diri kepada Allah, mempersembahkan diri kepada Allah dan kemudian dari Ekaristi ini juga mengutus kita untuk melayani dunia. Dalam Ekaristi kita bisa sungguh-sungguh bertemu dengan Kristus yang menyelamatkan. Ekaristi adalah suatu kekayaan Gereja Katolik yang sangat luar biasa, karena kita bisa menyentuh bahkan menerima (menyantap) Tubuh Kristus dalam rupa Sakramen Mahakudus. Ekaristi adalah sebuah anugerah luar biasa bagi Gereja, sebuah peluang kesempatan luar biasa yang diberikan Tuhan kepada kita. Bahkan dikatakan oleh St. Thomas Aquinas, "Para malaikat di surga sangat cemburu berat kepada kita karena kita boleh makan Roti Surgawi!" Hanya saja, berhubung karena kita hidup di zaman instan dan budaya yang mendangkal, kita seringkali lupa dan enggan merenungkan rahmat luar biasa yang kita miliki. Akhirnya, misa hari Minggu lewat begitu saja, karena rasanya tidak ada efeknya sama sekali. Atau bisa juga muncul suatu keraguan dalam diri kita, bagaimana mungkin Tuhan bisa hadir dalam perayaan misa. Keraguan seperti itu juga pernah terjadi dalam beberapa peristiwa yang terjadi dalam sejarah Gereja. Sebaliknya ada orang-orang tertentu terjebak dengan menganggap semua kegiatan rohani harus bersifat misterius dan 'gaib' yang sarat dengan 'mukjizat', dan lain-lain.

Kira-kira pada tahun 750 seorang rahib Basilian di Lanciano, Italia mempunyai keraguan yang terus-menerus tentang kehadiran riil Kristus dalam Ekaristi. Dia sendiri tidak dapat meyakinkan dirinya bahwa karena kata-kata konsekrasi yang diucapkan atas roti dan anggur, substansi roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Namun, karena ia seorang imam yang saleh, ia tentu saja merayakan sakramen itu sesuai dengan ajaran Gereja dan memohon kepada Allah agar menyingkirkan keraguan itu dari dirinya. Pada suatu hari, ketika dia mempersembahkan Kurban Suci itu, setelah kata-kata konsekrasi diucapkannya, roti itu benar-benar berubah menjadi Daging dan anggur menjadi Darah. Mula-mula ia tampak sangat kaget atas apa yang dilihatnya. Kemudian, setelah dia tenang kembali, ia memanggil umat yang hadir untuk datang ke altar dan melihat apa yang telah dilakukan oleh Tuhan. Pada tahun 1713, kelima gumpalan itu disimpan dalam monstran perak yang artistik dan sampai sekarang masih tersimpan di Gereja St. Fransiskus di Lanciano. Pada bulan November 1970, sebuah tim ahli medis bersidang untuk memulai penelitian dan diketuai oleh Prof. Edoardo Linoli. Pada tanggal 4 maret 1971 laporan penelitian telah lengkap dan membuktikan bahwa Daging itu benar -benar daging manusia. Darah itu benar-benar darah manusia.

Di samping itu ada juga fenomena yang lain yaitu salah satu umat Paroki MBK yaitu dr. Felicia yang memiliki kemampuan penglihatan telah melihat cahaya yang terang benderang ketika monstran diarak keliling pada Hari Raya Kamis Putih di Gereja MBK. Bagaimanakah sikap umat Katolik dalam menanggapi fenomena-fenomena yang luar biasa ini? Gereja merasa perlu mengusahakan kembalinya penghayatan iman dan menanamkan religiositas kepada umat sehingga umat memiliki semangat religius yaitu punya relasi dan kedekatan dengan Tuhan yang hadir dalam setiap perayaan sakramen khususnya Ekaristi. Sangat diperlukan kemampuan discernment (pembedaan roh) yang tajam, dan kemampuan mengambil sikap yang tepat dalam setiap peristiwa iman yang kita hadapi. Oleh karena itu marilah kita ikuti Seminar Misteri Tubuh dan Darah Kristus pada hari Sabtu, 29 Juli 2017 di Auditorium MBK, dengan narasumber Dr. Robert Pius Manik O.Carm yang telah menyelesaikan pendidikan Doktoral dalam bidang Liturgi di Irlandia.

Lihat Juga:

Seputar MBK (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi