Belajar Memaafkan Cara Nelson Mandela

  1 Aug 2013, 13:36

Sebentar lagi Hari Raya Lebaran 2013 akan tiba dan sudah ter­bayang acara silaturahmi saling maaf memaafkan. Sebuah acara ritual bukan saja bagi umat Muslim tetapi juga sudah melintasi batas bangsa Indonesia. Semua menikmati dan betapa bahagianya bisa saling maaf-memaafkan, terlebih lebih di lingkungan keluarga kita masing-masing. Dalam perjalanan hidup dan berinteraksi sosial pastilah kita pernah ber­buat kesalahan, atau disakiti.

Memaafkan memang gampang, tapi yang sulit adalah melupakan ke-salahan. Contoh penulis begitu kaget ketika orang yang selalu didoakan balasannya malah "membunuh" rezeki yang penulis terima. Dalam hati berontak dari mendoakan berobah untuk mengutuk.

Dalam konteks besar, Paus Johanes Paulus II minta maaf kepada bangsa Yahudi ketika Gereja Katolik tak bisa berbuat apa-apa terhadap genocida era Nazi di Perang Dunia II. Almarhum Presiden Gus Dur minta maaf kepada keluarga korban yang dituduh komunis semasa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto.

Dan dalam pergaulan internasional Nelson Mandela, bapak bangsa AfrikaSelatan selalu dijadikan contoh. Cara Memaafkan yang tak ada duanya danmungkin, sangat sulit ditiru tetapi selalu dijadikan teladan. Bayangkan sebagai pejuang kemerdekaan bang­sanya untuk melepaskan dari politik perbedaan warna kulit. Mandela dihu­kum penjara 27 tahun dan setiap pagi hari, ia selalu dikencingi oleh sipir penjara. Dibebaskan karena tekanan internasional.

PEMBERI MAAF YANG MUSTAHIL.

Ketika bebas dan menjadi Presiden Afsel kesempatan balas dendam terbu­ka. Namun tidak dilakukannya. Dalam buku Long Walk to Freedom, bahwa nasionalismenya telah melampaui dirinya sendiri sekalipun ia menderita aniaya yang begitu jahanam dan tak pantas harus terjadi untuk siapa saja. "Menjadi merdeka bukanlah sekedar melempar jauh rantai yang membe­lenggu diri sendiri. Menjadi merdeka berarti menghormati dan menekankan kemerdekaan orang lain." Demikianlah kata-katanya yang terkenal dan men­jadi semangat rekonsiliasi antara kulit hitam dan kulit putih. Dan hasilnya Afsel menjadi salah satu Negara terke­muka di dunia.

Jiwa perjuangan membebaskan bangsanya dari perbudakan terta­nam sejak ia berusia 16 tahun ketika ia mendengar kata-kata ketua suku Xhosa, suku Mandela. Rolihlahia, nama kecil Mandela terkesima dengan sambutan Meligqili ketua suku yang menanamkan semangat pembebasan. Ia mengecam anak-anak muda kulit hitam yang tujuannya hanya mabok-mabokan, tak punya masa depan buat keluarga. Tak menyadari punya Tanah Air tetapi malah menjadi budak di tanahnya sendiri yang semua untuk menyejahterakan kulit putih. Sebagian besar pada batuk-batuk berat karena mengihisap udara tambang yang merupakan harta kekayaan Negara tetapi hasilnya tidak pernah dinikmati sendiri.

"Berjalan menuju gerbang yang mengantarkan kebebasan. Aku tahu jika tak kutinggalkan kepahitan dan kebencianku, aku akan tetap sebagai seorang yang terpenjara." Kata-kata Mandela ini mengilhami mereka yang terus menerus mendendam kebencian. Bahwa kebencian itu ibarat kolam tak bertepi makin dibawa terus menerus makin membuat sengsara. Maaf Mandela meski sulit dimengerti tetapi mengilhami untuk menyelamatkan ter­jadinya kebencian baru.

(Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi