Tiada Hari Tanpa Peringatan

  4 Mar 2011, 08:06

Peringatan terpaksa diberi tanda kutip agar tidak diartikan sebagai ancaman atau pemberi tahuan dengan keras. Peringatan dimaksud adalah benar-benar memperingati sesuatu peristiwa. Umat Katolik dalam kalender liturgi penuh dengan peringatan hari-hari besar, sedang dan kecil. Bagaimana dengan hari hari peringatan umum dan nasional. Tak kurang pula banyaknya. Yang unik, ada hari Musik Nasional/Indonesia. Sayang penulis tidak memiliki informasi lebih tentang hari musik ini. Bahkan di antara teman sejawat penggiat musik dan pengajar musik banyak yang "kurang periksa " ada hari macam itu. Apakah musik tidak pegang peranan dalam hidup? Orang mengatakan - life is nothing without music-semoga.

Konon hari musik jatuh dikaitkan dengan tanggal lahir pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya - WR Supratman tangal 9 Maret. Lepas dari penentuan tanggal, rasanya ada sesuatu yang masih perlu disimak. Musik Indonesia yang mana yang masuk dalam peringatan itu? Yang tradisional? Yang bernada dia tonic, pentatonic, berbahasa Indonesia atau daerah? Apa yang dilakukan masyarakat untuk memperingati hari yang macam macam itu tak lebih upacara seremonial yang dangkal. Hari Kartini, dari yang muda sampai lansia cukup memakai kemben dan kebaya. Semangat Kartini yang dahsyat: Jadilah bangsawan budi dan bangsawan pikir " sama sekali tak terpikir. Sumpah Pemuda? Cukup mengucap ulang sumpah sakti yang mempersatukan anak negeri ini. Tanpa menyadari bahasa dan kesatuan negeri ini digerogoti nafsu menang sendiri oleh segelintir nasionalis sempit.

Proklamasi? Apalagi. Lomba rebutan makan krupuk yang digantung. Untuk sebuah kerupuk orang harus adu untung. Tragis. Haruskah hari musik nasional, cukup diperingati sekedar menyelenggarakan konser setahun sekali? Itupun nafas pop terasa sangat dominan. Budaya pop rupanya telah memporakperandakan seni budaya dan tradisi luhur Indonesia. Kearifan lokal tergerus semangat instant. Generasi kini tak lagi mengenal musiknya sendiri. Menyanyi lagu keroncong? nDeso, kampungan. Lagu daerah? Tak usah yauw. Anak anak? Tak lagi suka lagu anak anak. Ini masalah serious -kalau sadar. Namun orang lebih suka mempermasalahkan masalah daripada menyelesaikan masalah. Inilah tabiat bangsa kita?

Keinginan dan kehendak baik, realisasinya tidak harus dengan menunggu waktu. Iman kita menyatakan: berbahagialah mereka yang berkehendak baik. Mari kita ukur keinginan dan kehendak baik itu dengan hasrat. Hasrat bermusikpun perlu dicermati. Musik macam apa? Musik pilihan adalah musik klasik. Hakekat klasik itulah yang harus diperkenalkan kepada khalayak. Klasik dalam pengertian luhur adalah, harmonis, tertib, santun penuh pengertian, selaras yang telah teruji "kebenarannya" dalam kurun waktu lama.

Mengapa terjadi kerusuhan Mei beberapa waktu lalu? Karena masyarakat tidak diperkenalkan hakekat klasik, seperti dalam musik klasik. Musik tradisional di satu sisi mengandung kearifan lokal yang termuat dalam puisi, syair, text. Masih adakah kesempatan mendengarkan ulang musik jenis ini. Ada. Dimana? Di gereja. Gereja tanpa banyak cincong menghidupkan terus musik tradisi dari berbagai sudut negeri ini bahkan memasukan menjadi bagian liturgi. Gereja tak menunggu hari musik, lokal, regional atau nasional. Gereja berkarya nyata. Untuk menyebarkan ajaran Kristus, romo G.P.Sidhunata, S.J bersama AG. Suwandi memanfaatkan medium musik vocal Jawa tertuang dalam buku Injil Papat - Piwulang Sang Guru Sejati ing Tern bang Macapat. Dengan atau tanpa hari musik, umat Katolik tetap menumbuhkembangkan musik.

(Suwanto Soewandi - St. Benedictus)

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi