Menemukan Buah-Buah Rohani dalam Hari Libur

 Paul Heru Wibowo  |     16 Jul 2017, 02:19

Di samping hari Minggu, ada sejumlah hari yang memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat kota besar. Hari-hari yang dimaksud itu adalah hari raya, hari libur nasional, dan hari libur sekolah. Sejumlah hari itu dianggap sebagai hari yang tepat untuk bersantai sejenak dan melupakan kepenatan yang disebabkan oleh suasana kota sehari-hari yang begitu hiruk-pikuk dan ingar-bingar. Bagi orang kota, hari libur adalah masa kalibrasi sekaligus pemulihan yang paling tepat dari rasa letih dan kepenatan bekerja. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila jauh-jauh hari orang kota kerap menandai kalender mereka dengan rencana liburan atau memesan tiket sarana transportasi dua sampai tiga bulan sebelumnya.

Hari Raya Idul Fitri yang biasa disebut sebagai Hari Raya Lebaran merupakan salah satu momen favorit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hari Raya Lebaran tidak sekadar dipandang sebagai salah satu hari keagamaan bagi umat muslim di Indonesia, tetapi dipandang pula sebagai momen kultural yang mampu menggerakkan banyak orang dari pelbagai agama, ras, dan golongan untuk berkumpul kembali dengan keluarga, sanak saudara, handai taulan, dan sahabat. Maka membicarakan Hari Raya Lebaran bukanlah sekadar membicarakan ritual keagamaan di pagi hari, tetapi berkaitan pula dengan rencana pertemuan, reuni, atau silaturahim dengan orang-orang yang pernah singgah di hati pada masa lalu. Maraknya penggunaan media sosial di kalangan masyarakat, disadari atau tidak, justru menjadi salah satu penggerak terselenggaranya banyak reuni dadakan di sejumlah tempat.

Pada hari itu, masyarakat urban yang telah terbiasa bergerak secara individual pun mulai melakukan napak tilas untuk mengamati kembali asal-usul mereka. Dalam proses itu, mereka kembali menimba kerendahan hati sehingga menyadari bahwa sebelum tinggal di perkotaan, mereka adalah orang-orang ndeso yang selalu mengandalkan hasil alam agraris sebagai sumber kehidupan. Dalam momen itu, mereka mulai bercengkerama kembali dengan alam pedesaan nan sejuk, kehangatan keluarga besar, keramahan hati masyarakat desa, atau kebutuhan pokok yang begitu murah dan sangat terjangkau. Akan tetapi, dalam momen kultural tersebut, hadir pula sejumlah orang yang merasa perlu untuk unjuk diri dan pamer keberhasilan secara ekonomis, kendati pada kenyataannya mereka hanya bekerja pada berbagai sektor informal di kota. Agar memperoleh imaji yang mengesankan dari sejumlah penduduk desa, tidak jarang mereka juga harus mengeluarkan dana untuk membeli gawai termuktahir, menyewa mobil-mobil luks yang dapat mereka parkir di depan gerbang desa, atau berhutang banyak kepada bank agar dapat menjadi Santa Claus dadakan bagi para keponakan dan tetangga. Segala cara dilakukan agar terbentuk persepsi bahwa setiap orang yang bekerja di kota besar seperti Jakarta adalah orang-orang sukses. Demikianlah Hari Raya Lebaran menjadi sebuah perhelatan kultural yang begitu kolosal di hadapan masyarakat Indonesia.

Namun, apakah hari libur seperti Hari Raya Lebaran itu masih menyisakan buah-buah rohani yang bermakna bagi kehidupan kita? Buah-buah rohani yang dimaksud itu berkaitan erat dengan kesadaran bahwa kehadiran Allah dapat ditemukan dalam segala hal, termasuk dalam segala aktivitas yang dilakukan manusia atau dalam ruang dan waktu yang dijalani manusia. Sebagai umat Katolik, hari-hari libur tentu saja tidak hanya dipandang sebagai sarana kultural untuk melakukan relaksasi, tetapi juga direfleksikan sebagai sarana untuk melakukan re-kreasi (penciptaan kembali) kehidupan spiritual.

Liburan, entah dilakukan bersama keluarga, sahabat, atau seorang diri, pada hakikatnya merupakan sebuah perjalanan batin. Dalam perjalanan itu terangkum kehendak manusia untuk menemukan pengalaman-pengalaman yang dapat menguatkan rohaninya. Dalam perjalanan itu tercermin kerinduan dan kerendahan hati manusia untuk menyaksikan karya Allah sebagaimana ternyatakan dengan jelas dalam pemandangan yang indah atau kehangatan orang-orang yang kita jumpai. Liburan selalu mengandaikan sebuah perubahan sikap dari kesedihan menuju kebahagiaan, dari kepenatan menuju pembebasan. Pasalnya, situasi yang relatif santai memiliki dampak psikologis yang positif bagi kerja otot dan otak dalam tubuh manusia. Dalam situasi yang menyenangkan, setiap kita dapat dengan lebih mudah menyerap banyak hal positif, termasuk mengolah pengalaman rohani.

Maka aktivitas berlibur sebaiknya tidak hanya dimaknai sebagai upaya untuk mengalihkan atau melarikan rasa frustasi atau kepenatan, tetapi justru perlu dimaknai sebagai upaya untuk membuka hati dan pikiran terhadap pengalaman-pengalaman baru. Hal demikian tidak berarti bahwa untuk memperoleh pengalaman-pengalaman rohani, misalnya, kita harus secara khusus mengikuti perjalanan wisata rohani ke Holy Land atau mengunjungi situs-situs suci. Wisata rohani mungkin mampu menawarkan pengalaman tersebut dengan harga yang tidak murah. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman rohani bukanlah kumpulan pengalaman yang mudah diprediksi. Masih terdapat celah misteri yang kerap tersembunyi di sana. Karena itu, kegiatan liburan yang sederhana sekalipun dapat mengantarkan manusia untuk memandang Tuhan sebagai Penyelenggara Kehidupan. Keagungan Tuhan yang Mahabesar misalnya dapat segera dijumpai ketika kita berjalan di tengah perkebunan teh atau pematang sawah.

Menikmati hari libur sebagai sebuah pelarian dari kepenatan ritus harian tentu saja merupakan hal yang sia-sia. Masyarakat urban kerap terjebak pada kebahagiaan semu yang mereka peroleh setelah menghabiskan puluhan juta di resort wisata tertentu. Karena itu, diperlukan perspektif yang berbeda untuk memandang sejumlah hari libur yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat urban sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan pengolahan batin baik dalam keluarga maupun komunitas yang lebih besar. Semoga setiap hari libur yang kita jalani dapat menjadi satu kesempatan yang baik untuk menimba rahmat rohani dalam kehidupan sehari-hari.

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi