Kekerasan pada Anak, Salah Siapa

 Mazmoerwito  |     19 Oct 2014, 01:08

Sebagai orangtua saya punya anggapan bahwa 'Anak tak pernah salah'. Kalau anak salah, maka orang tua atau orang dewasa di sekitarnya yang membuat anak belajar tentang sesuatu yang salah.

Seminggu terakhir, kita telah menyaksikan di layar kaca dan di media cetak atau on line betapa anak-anak Sekolah Dasar telah melakukan penganiyaan terhadap teman kelasnya. Yang menambah tercengang adalah kekerasan tersebut dilakukan secara kolektif di ruang doa. Video kekerasan tersebut bisa dengan leluasa kita tonton di laman video milik Google.

Saya tidak menonton habis tayangan tersebut karena saya punya anak perempuan dan yang dianiyaya oleh beberapa anak laki-laki itu adalah perempuan. Di sudut ruangan di menangis menahan gempuran kaki teman-temannya. Tangannya selalu menutup wajah dan kaki kirinya terangkat setiap temannya melayangkan kaki atau tangannya ke tubuhnya. Beberapa teriakan kecil entah menahan sakit, atau meminta temannya berhenti melakukan pukulan dan tendangan, namun justru teman-teman lainnya yang tak tampak kamera bersorak gembira. Jantung saya masih berdegup emosi, ketika menuliskan apa yang saya saksikan. Saya harap orang tua yang mengunggahnya juga punya emosi yang sama dengan saya.

Belum habis digunjingkan cerita kekerasan di Bukit Tinggi tersebut, sudah muncul kekerasan baru dikalangan anak SD. Kali ini lebih miris dan mengerikan selain menganiaya korban, beberapa pelaku yang masih duduk di kelas 4 SD ini juga melakukan pelecehan seksual. Sampai disini, semoga kita makin sesak nafas, atau kalau perlu kita panggil 118 sebagai indikasi bahwa kita sebagai orang tua atau calon orangtua masih normal.

Sambil memakai selang oksigen keprihatinan, mari kita tanyakan pada diri kita, apakah anak-anak itu salah? Apakah anak-anak itu layak dikeluarkan dari sekolah? Apakah anak-anak itu harus direhabilitasi? Di mana? Dan pertanyaan terakhir adalah siapa yang harus bertanggung jawab terhadap 'kejahatan' yang dilakukan oleh anak-anak tersebut?

Kambing hitamnya selalu jatuh pada sekolah, guru, dan lingkungan. Ya, karena mengkambinghitamkan mereka memang paling mudah. Selain mereka sudah punya jawabannya, mereka juga sebuah ruang sosial yang tak bisa dihukum. Dimintai pertanggungjawaban memang bisa, diekspresikan dalam kata 'maaf'. Dengan begitu masalah akan dianggap selesai.

Nah, apakah maaf bisa mengembalikan trauma anak? Atau kalau orangtua korban ngamuk hingga balik melakukan penganiyaan terhadap pelaku, apakah trauma anak hilang? Atau apakah dengan komentar para pandai termasuk psikolog dan psikiater di layar kaca akan menjaminan tidak akan terjadi lagi korban kekerasan atau pelaku kekerasan?

Tulisan atau reaksi saya terhadap kekerasan tersebut, tak membuat saya atau Anda menjadi malaikat atau hakim yang akan mehakimi peristiwa kekerasan tersebut. Tapi seperti yang saya katakan, kekerasan itu virusnya ada pada saya dan Anda, orangtua. Selama jari telunjuk kita arahkan pada orang lain, institusi dan pada pelaku kekerasan maka masalah kekerasan pada anak masih akan ada. Tapi jika orangtua dan orang tua mau cuci tangan terhadap kekerasan pada anak, paling gampang ya menunjukkan jari ke atas, bukankankah yang di atas adalah sumber segalanya? Ah, semoga tidak.

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi