Oase

  25 Oct 2013, 14:48

Editorial WM tertanggal 13 Ok-tober 2013 dengan tepat menggambarkan situasi negara kita saat ini. Dikurun waktu awal tahun 1980-an, saya menghadiri undangan resepsi perkawinan anak kawan saya. Ketika antri mengambil makanan, saya berdiri bersebelahan dengan teman, seorang tokoh politik yang mempunyai kemampuan paranormal. Kemudian kami berdua berdiri di tempat agak kepinggir dan mulai ngobrol. Inti obrolan kami adalah membicarakan keadaan waktu itu, dimana anak presiden kita waktu itu satu persatu menjadi pengusaha, terasa mulai merambah kemana-mana dan mulai terasa melebihi kewajaran dan kepantasan. Kemudian dengan penuh keprihatinan kami saling menyebut orang-orang yang diharapkan dapat mengingatkan presiden waktu itu supaya mengendalikan dan mengontrol bisnis anak-anaknya. Dengan bahasa paranormalnya teman saya bilang, boleh diusahakan, tapi ini sudah kehendak jaman, tidak bisa dihentikan.

Diakhir obrolan itu teman saya bilang dalam Bahasa Jawa yang arti-nya kira-kira adalah: "Mas, ini belum apa-apa. Nanti akan ada jamannya dimana pencuri/koruptor menepuk dada, dengan bangga menampilkan diri, menjadi orang-orang berpengaruh/berkuasa, sehingga kamu kalau jalan mesti minggir-minggir ditepi selokan".

Saya tidak percaya pada ramalan, tapi bagaimanapun juga muncul per-tanyaan, itukah yang terjadi sekarang? Seperti pertanyaan editoial WM itu, O Tempora! O Mores! Jaman apakah sekarang ini namanya? Jaman mripit-mripit pinggir got? Disebut Jaman Edan pun sudah kurang memadai lagi rasanya. Dimanakan nilai-nilai, etika, keutaman-keutamaan luhur, dan moral itu ditaruh sekarang?

Lihat saja kelakuan para pejabat tinggi kita yang tidak bisa lagi memi-sahkan hak-hak pribadinya dengan kewajibannya sebagai pejabat negara yang bertugas untuk, dan hanya untuk mengurus dan menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Tanpa rasa risih sedikitpun, Ketua DPR menjadi bintang iklan perusahan pembuat panci, menteri menjadi bintang iklan produk jamu dan lain-lain.

Sungguh memalukan, sungguh tidak layak dan tidak pantas. Ini bukan persoalan hukum. Lebih lagi ini bukan sekedar persoalan hukum formal belaka. Ini adalah persoalan lebih dalam, lebih prinsipiil. Ini adalah persoalan etika.

NOBLESSE OBLIGE! Begitu mestinya. Makin tinggi jabatannya makin banyak kepentingan pribadi yang memang mesti dikorbankan. Satu di-antara keutamaan luhur yang mendasar bagi mereka yang mengurus ke-pentingan orang banyak, tapi sudah dilupakan.

Ibu pertiwi sedang bersusah hati. Kita juga bersedih hati, prihatin seakan kehilangan harapan. Tapi mari kita berbulat hati, mengambil peranan.

Saya punya teman lain, dia bukan katolik, pernah menjadi menteri. Ketika dia menjabat, dia bilang: "Eh, ini mesti jadi perhatianmu lho. Dulu kalau saya cari orang yang pinter, orang yang jujur, saya selalu cari dan dapat orang katolik. Sekarang susah, langka. Semuanya sama saja. Kemana perginya teman-temanmu seperti yang dulu-dulu itu?"

Kalau kita tidak punya daya untuk menghunus pedang kejujuran dan ke-luhuran budi untuk membabat para bandit itu, apakah kita mau dan mampu menjadi OASE yang dapat memberikan kesejukan dan menyediakan air segar penangkal haus berupa perwujudan nilai-nilai luhur ditengah terik dan kegersangan padang gurunnya korupsi, kemunafikan, ketidak jujuran, ketiadaan etika, dan keangkaramurkaan? Tuhan kasihanilah kami.

(Djoko Sudyatmiko, Lingkungan Santa Maria 1)

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi