Hangat-hangat ... Ayam !

  28 Jan 2011, 21:30

Sengaja judul tidak ditulis lengkap. Saya ingin menghormati pembaca yang konon kurang berkenan bila membaca sebuah kata atau kalimat yang menurut "ukuran pribadinya" kurang pantas dan sopan yang dicetak di Koran atau majalah Apalagi yang bernuansa religius sebagaimana Warta Minggu. Meski tidak semua pembaca bersikap begitu. Lalu mengapa pemeo, pepatah, idiom seperti itu dijadikan judul? Pepatah, atau peribahasa bahkan idiom adalah sebuah kalimat pendek berisi kiasan yang mengungkapkan pikiran yang berfaedah atau kebenaran yang wajar. Dengan pepatah, beragam situasi, kondisi sikap mental justru dapat dideskripsikan dengan tepat. Tak perlu boros kata. Pembaca cepat menangkap apa yang tersirat dibalik yang tersurat.

Hangat-hangat ... Ayam !

Orang atau masyarakat, pemerintah senang, bangga, gembira melakukan sesuatu manakala masih baru. Berapa lama baru itu? Persis selama... itu masih hangat. Setelah itu? Ya lupa. Bahkan seolah tak ada sesuatu terjadi. Intisarinya? Kalau pemeo, pepatah, idiom itu hidup di suatu bangsa maka seperti itulah watak bangsa itu persis serupa dengan isi dan semangat kalimat itu. Bagaimana dengan pembaca dan saya? Jangan jangan serupa. Mau kemana isi tulisan ini?

Masih ingat jatilan Ponorogo, tari Pendet, lagu-lagu daerah dan karya kreatif tradisional Indonesia dicaplok oleh negara serumpun Malaysia? Sebelum pencaplokan merembet ke wilayah lain kini pemerintah menggencarkan pemakaian batik bagi warga Indonesia. Apakah ini manifestasi ketakutan kecolongan? Atau reaksi sesaat? Sebenarnya penggalakan pemakaian batik bukan sekali ini dicanangkan. Di jaman orde baru pernah digembar-gemborkan agar berbatik. Pemda Jawa Timur dengan pak Nur sebagai gubernur yang merakyat, pernah pula mencanangkan hari berbatik. Semua tampak bersemangat pada awalnya. Namun selama pemeo, pepatah, idiom seperti dalam judul masih melekat erat pada diri kita hasilnya bisa diduga: hilang cepat tak berbekas.

Berbeda dengan India. Mahatma Gandhi punya gagasan Satyagraha, Ahimsa dan Swades Yang terakhir adalah gerakan yang menganjurkan supaya memakai barang barang produksi bangsa sendiri. Gagasan yang diwarnai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang kurang menguntungkan. Gandhi membaca situasi. Dijadikannya Swadeshi sebuah gerakan nasional bukan sekedar rencana. Gerakan ber-Swadeshi berhasil mengangkat harkat dan martabat bangsa India, sebagaimana banyak produk India membanjiri pasar dunia termasuk ke Indonesia.

Apakah rencana "membatikkan" masyarakat dan memasyarakatkan batik masih diwarnai kalimat dalam judul yang lengkapnya: Hangat hangat tahi ayam? Masyarakat berubah tentu menyambut positif gagasan Swadesi ini. Bukan untuk batik saja, tetapi semua rencana, gagasan, baik mental maupun fisik yang akhirnya membangkitkan rasa bangga ada semua anak bangsa yang memakai dan mempergunakannya. Bagaimana umat MBK menyikapinya? Siapa tahu nanti ada gerakan Sabtu misa lurik dan Minggu misa batik?

Tak perlu tergesa-gesa!

(Suwanto Soewandi - St. Benedictus)

Lihat Juga:

Serba-Serbi (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi