Gereja adalah Rumah dengan Pintu Terbuka

 Helena D. Justicia  |     4 Apr 2015, 19:57

Perempuan muda itu mengemasi barang-barangnya dalam diam. Perutnya yang membuncit tak memungkinkannya tinggal di rumah itu tanpa mengundang pertanyaan tetangga. Daripada menjadi sasaran tudingan atau hujatan, perempuan itu memilih untuk pergi dari rumah yang telah membesarkannya. Cukup sudah tatapan menyelidik yang diarahkan kepadanya. Cukup sudah penantian terhadap sang kekasih yang tak kunjung datang. Cukup sudah pertengkaran dengan orang tua yang memaksanya untuk menggugurkan kandungan. Ia memilih untuk pergi dan menjalani hidupnya sendiri.

Gereja adalah Rumah dengan Pintu Terbuka

Keluarga dalam Berbagai Kisah dan Peristiwa
Kisah gadis yang mengawali tulisan ini hanyalah satu cerita tentang perjalanan hidup keluarga Katolik kita. Tanpa bermaksud menyalahkan atau menghakimi, kita menyayangkan kurang ditanamkannya nilai-nilai iman Katolik dalam keluarga itu, sehingga anak perempuan mereka hamil di luar nikah. Seolah tak cukup realitas pahit itu dirasakan, sang pacar ternyata menghilang karena tak mau bertanggung jawab. Belakangan diketahui, ia adalah laki-laki beristri. Tak sanggup menanggung malu, keluarga itu pun memaksa si gadis untuk menggugurkan kandungannya. Persoalan bertambah kompleks. Si gadis lantas kabur dari rumah agar dapat mempertahankan bayinya.

Berbagai kisah dan peristiwa lainnya dapat kita temukan dalam hidup keluarga-keluarga Katolik kita. Dalam Sidang Umum Luar Biasa Para Uskup di Roma, 5 - 20 Oktober 2014, para gembala Gereja merefleksikan perjumpaan dan kebersamaan hidup mereka bersama keluarga-keluarga, yang dengan kata-kata maupun kesaksian telah menyampaikan kegembiraan maupun kesulitan-kesulitan hidup. 'Kami kagum dan bersyukur atas kesaksian sehari-hari yang Anda berikan kepada kami dan kepada seluruh dunia dengan kesetiaan, iman, harapan dan kasih,' demikian pesan sinode yang disampaikan Ketua KWI, Mgr. Ign. Suharyo.

Dalam hidup berkeluarga, melalui pengamatan para uskup, ada terang dan bayang-bayang gelap. Seringkali muncul tantangan, bahkan kadang juga cobaan yang besar. Kegelapan dapat menjadi semakin pekat ketika kejahatan dan dosa merasuk ke dalam keluarga. Tantangan besar ditemukan dalam hal: kesetiaan dalam kasih antara suami-istri, iman yang semakin lemah, sikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai sejati, individualisme, relasi yang semakin miskin serta tekanan hidup yang tidak menyisakan waktu untuk merenung.

Krisis perkawinan seringkali dihadapi secara reaksioner, tergesa-gesa, tidak sabar meluangkan waktu untuk merenung dan kurangnya kerelaan untuk berkurban serta saling memaafkan. Kegagalan dalam hidup perkawinan memungkinkan relasi-relasi baru (pasangan baru, ikatan sipil baru, perkawinan baru) sehingga permasalahan keluarga makin kompleks dan menyulitkan pengambilan keputusan secara Kristiani.

Tantangan hidup keluarga juga disebabkan adanya anak yang berkebutuhan khusus, anggota keluarga yang sakit berat, melemahnya kesadaran karena usia lanjut serta kematian orang yang dikasihi, sementara orang-orang muda menjadi korban obat bius dan kejahatan. Kesulitan yang terkait dengan kondisi ekonomi misalnya tiadanya pekerjaan, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar keluarga, sistem perekonomian yang tidak adil, atau pekerjaan yang merendahkan martabat pribadi.

Realitas hidup keluarga juga mencakup keluarga-keluarga miskin, manusia perahu, para pengungsi, keluarga-keluarga yang dianiaya karena iman, nilai-nilai kemanusiaan dan harta rohani yang mereka yakini, keluarga yang ditimpa kejahatan perang dan penindasan, para perempuan yang mengalami kekerasan serta eksploitasi, para korban perdagangan manusia, serta anak-anak yang dilecehkan.

Kendati realitas hidup keluarga Katolik seringkali terasa pahit, para uskup mengamati bahwa banyak keluarga yang menghadapi cobaan-cobaan ini dengan penuh keberanian, iman serta kasih. Mereka tidak memandangnya sebagai beban yang ditimpakan ke atas mereka, tetapi sebagai sesuatu yang diberikan kepada mereka, sembari memandang Kristus yang menderita dalam kelemahan jasmani.

Merawat Luka-luka Keluarga
Pada saat penciptaan dunia dan manusia, Allah terlebih dulu menciptakan Adam kemudian memberinya Hawa, seorang penolong yang sepadan (lih. Kej 2:18). Keduanya adalah pribadi yang setara dan menjadi penolong satu dengan lainnya. Pesan Sinode menegaskan: kasih pria dan wanita mengajarkan kepada kita bahwa masing-masing membutuhkan pasangannya agar dapat menjadi diri sendiri. Masing-masing tetap berbeda dari yang lain dalam jati dirinya, yang membuka diri dan mengungkapkan diri sebagai anugerah timbal balik. Inilah yang dikidungkan oleh sang pengantin dalam Kidung Agung: kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia... Aku kepunyaan kekasihku, dan kepunyaanku kekasihku," (Kid 2:16; 6:3).

Sebagaimana Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya, Allah tiada henti melestarikan keberadaannya dalam diri manusia. Secara khusus, Allah menggoreskan panggilan dalam kodrat manusiawi pria & wanita, sekaligus memberikan kemampuan, tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam persekutuan (lih. Familiaris Consortio, 11). Perjumpaan antara laki-laki dan perempuan terjadi secara penuh dalam sakramen ketika Allah menetapkan meterai-Nya, dan menyatakan kehadiran serta rahmat-Nya. Kasih, dari kodratnya, terarah untuk menjadi selamanya bahkan sampai memberikan hidup bagi orang yang dikasihinya (bdk. Yoh 15:13).

Dalam terang iman ini kasih suami-istri, yang adalah satu dan tak terpisahkan, bertahan meskipun banyak kesulitan karena keterbatasan manusia. Kasih itu mencakup kemampuan untuk memberikan hidup, kasih sayang, dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan. Kasih itu perlu terus ditimba dari sumbernya sendiri: cinta kasih Allah yang tanpa batas dan tiada berkesudahan.

Dalam perjalanan hidup keluarga, pengalaman akan Allah harus konkret dialami oleh semua anggota keluarga, melalui berbagai ungkapan atau ekspresi. Komunikasi antar-anggota keluarga, aktivitas bersama, doa dan pembacaan Kitab Suci serta Perayaan Ekaristi yang dihadiri bersama-sama merupakan contoh dari ungkapan tersebut. Dengan demikian, perkawinan sampai kepada tugas perutusannya: menjadi tanda dan sarana cinta kasih Allah yang menyelamatkan. Keluarga yang demikian, harapan Sinode, merupakan 'Gereja rumah' yang sejati dan meluas menjadi keluarga-keluarga dalam komunitas gerejani. Suami-istri Kristiani pun dipanggil untuk menjadi guru-guru iman dan guru-guru kasih bagi para suami-istri muda. Keluarga-keluarga yang menjalani petualangan penuh cahaya ini menjadi sebuah kesaksian, sebuah tanda bagi semua orang, terutama kaum muda.

Sinode menegaskan bahwa Kristus menginginkan agar Gereja-Nya menjadi sebuah 'rumah dengan pintu yang selalu terbuka' untuk menyambut semua orang, tanpa mengecualikan seorang pun. Dalam komunitas gerejani, yang anggotanya adalah keluarga-keluarga dengan beragam problematika hidup, diharapkan semakin berkembanglah kemampuan Gereja untuk memahami serta merespon aneka tantangan hidup keluarga Katolik. Dengan demikian, luka-luka keluarga dapat dirawat dan disembuhkan dalam suasana kasih persaudaraan yang mendalam.

Kepedulian Kita, Syukur Kita
Kembali pada perempuan muda yang kisahnya mengawali tulisan ini, ia kini telah memiliki seorang puteri cantik berusia satu tahun. Banyak sudah yang ia alami. Kabur dari rumah hanya membuatnya diteror oleh keluarga yang tetap berusaha menggugurkan kandungannya. Gadis itu terpaksa berpindah-pindah untuk menyamarkan jejak. Pada suatu malam ketika beban hidup terasa begitu berat, ia memikirkan untuk bunuh diri saja. Namun dikatakannya kemudian, "Bagaimana mungkin aku dapat mengingkari nilai-nilai yang kuhidupi selama ini?"

Dibuang oleh keluarga, ia berusaha mandiri untuk menghidupi keluarga kecilnya. Dukungan teman-teman membuatnya dapat bertahan. Dari keputusasaan, ia kembali dapat menyemai harapan dan membangun impian. Ada keinginan untuk membaptis anaknya, mendapatkan penghasilan yang lebih baik, menyekolahkan anaknya, dan banyak rencana lainnya.

Yesus tergerak oleh belas kasihan saat menyembuhkan seorang kusta (lih. Mrk 1:40-45). Belas kasihan, kapedulian Yesus itulah yang kemudian mewujud dalam tindakan kasih berupa penyembuhan. Ketika si penderita kusta telah sembuh, membuncahlah syukur di dalam hatinya sehingga ia mewartakan Yesus kepada orang-orang yang dijumpainya di jalanan.

Demikian pulalah yang diharapkan dari kita; kepedulian pada penderitaan sesama, khususnya keluarga-keluarga Katolik, akan menggerakkan tangan-tangan kita untuk melakukan karya pelayanan kasih. Karya kasih itu akan membuahkan syukur, yang kemudian menggerakkan orang untuk semakin luas mewartakan keselamatan dari Allah. Dengan cara inilah, Allah akan terus dimuliakan.

Lihat Juga:

Tema Minggu (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi