Surat Untuk Tuhan

  27 Oct 2010, 22:35

Di simpang jalan ini saya menjadi yang paling favorit. Hampir setiap orang yang lewat menyempatkan diri untuk menggunakan jasaku. Aku kotak besi berwarna oranye, orang biasa menyebutku bis surat.

Surat Untuk Tuhan

Aku berada di sini sejak tahun 1976. Dulu setiap satu tahun sekali aku mendapat perawatan. Dulu setiap hari, dua kali aku di datangi pegawai kantor pos. Bahkan setiap hari besar keagamaan mobil pengangkut surat harus lebih sering mendatangiku. Kalau tidak, surat-surat itu bisa menumpuk di luar badanku. Tapi itu dulu. Kini? Ah... sebenarnya aku tidak pantas untuk mengeluh. Aku juga tidak layak mengadu. Kalau aku sekarang sudah di emohi, bukan karena pelayananku yang kurang. Melainkan karena kecepatan pertumbuhan alat komunikasi yang sangat hebat. Bayangkan, dulu satu surat bisa sampai pada tempat yang dituju bisa sampai 2 minggu bahkan kalau tempat itu terpencil bisa satu bulan.

Mungkin sekarang ini tidak terbayangkan bagaimana begitu primitif dan lambannya jasa pengiriman surat di era VOC (1602-1799). Hubungan surat dari negeri Belanda ke Batavia butuh waktu sembilan bulan, bahkan bisa setahun lebih. Dari Batavia ke Maluku sebagai gudang rempah-rempah perlu waktu empat bulan. Karena pada saat itu angkutan pengiriman surat masih mengandalkan kapal dagang VOC. Pada masa kejayaanku, pengiriman sudah menggunakan pesawat terbang.

Untuk diketahui, negri ini mengenal surat menyurat jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Yakni pada masa kerajaan Kutai, Tarumanegara, Pajajaran, Majapahit, Sriwijaya dan Mataram - walaupun hanya terbatas pada hubungan antar para raja. Bentuknya pun masih sangat sederhana, menggunakan kulit kayu, potongan bambu, daun lontar, dan kulit binatang. Kini dengan menggunakan telepon genggam pesan yang di kirim bisa langsung diterima dalam hitungan detik. Untuk surat-surat yang panjang dan berlembar-lembar juga hampir sama. Pengiriman dilakukan melalui dunia baru yang disebut dunia maya. Internet, dan email yang ada di dalamnya telah merubah cara-cara konvensional. Dibandingkan mereka, aku bukanlah tandingan.

Tapi, ah ini bukan keluhan, sekali lagi aku tegaskan, aku tidak mengeluh. Aku hanya ingin berbagi cerita. Beberapa tahun yang lalu, ada seorang anak negri menghampiriku di suatu sore. Dia memegang-megang dan mengintip ke dalam celahku. Lalu tangannya yang mungil itu memasukkan sepucuk surat ke tubuhku. Aku ingin melarangnya, namun tak mampu. Sampai hari ini surat itu masih ada di dalamku. Tintanya sudah pudar didera hujan dan panas. Aku sedih, aku tidak tahu kapan surat itu akan sampai ke tujuannya.

Sepucuk surat yang ditujukan kepada Tuhan.

(Felly)

Lihat Juga:

Tema Minggu (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi