Hari Bahasa Ibu, Penting atau Tidak?

  16 Feb 2012, 23:42

Dalam dua bulan terakhir kita sukses dicekoki oleh berbagai pesta datangnya hari-hari besar. Mulai dari gempitanya Natal, seminggu kemudian disusul dengan Tahun Baru Masehi, kemudian Tahun Baru Cina, dan beberapa hari yang lalu kita dibuat berbunga-bunga, bercokelat-cokelat, dan luberan kasih sayang Hari Valentine.

Untuk sementara, mungkin, kantong kita bisa sedikit bernafas lega karena gempitanya perayaan hari-hari besar tersebut disadari atau tidak telah membuat pundi-pundi tabungan kita brodol, demi sesuatu yang semoga kita yakini. Karena hari-hari besar berikutnya yang akan kita lalui bisa jadi tidak penting. Atau sebelum kita menghakimi penting tidaknya hari tersebut saya akan sedikit berbagi.

Nanti tanggal 21 Februari, adalah peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang oleh UNESCO telah dideklarasikan pada tanggal 17 Nopember 1999. Deklarasi tersebut dilakukan untuk menghormati dan pengakuan akan pentingnya Bahasa Ibu.

Bahasa ibu dalam literatur sosiolinguistik makro kajian pemertahanan bahasa lazimnya tertuju pada bahasa ibu dalam konteks bilingual, yang dalam hal ini terdapat bahasa ibu (minor language) atau bahasa etnis berhadapan dengan bahasa utama (major language), seperti bahasa nasional. Jadi, bahasa ibu adalah bahasa daerah yang digunakan dalam suatu wilayah tertentu, misalnya wilayah Jawa Barat bahasa ibunya adalah bahasa Sunda.

Sedikit cerita di balik pengakuan tersebut, pada 21 Februari 1952, di Pakistan Timur terjadi tragedi berdarah ketika bahasa Urdu ditetapkan sebagai satu-satunya bahasa resmi Pakistan oleh Mohammad Ali Jinnah, Gubernur Jenderal Pakistan saat itu. Padahal bahasa Pakistan Timur adalah bahasa Bengali. Untuk mempertahankan bahasa Bengali itulah, tepatnya di Dhaka, warga Pakistan Timur melakukan demonstrasi yang berujung jatuhnya korban nyawa.

Kalau Anda setuju, saya hanya ingin mengatakan betapa pentingnya Bahasa Ibu. Bukan karena latah, atau sok ikut-ikutan PBB dan Pakistan. Tetapi karena saya merasa telah melakukan suatu hal yang menurut saya 'salah' kepada anak saya. Maaf ya, Nduk.

Bahasa Ibu saya Jawa, saya tinggal di Jakarta, tetapi di masa pertumbuhannya, saya tidak begitu ngeh dengan psikologi anak. Hampir setiap hari Kanya, nama anak saya, selalu menonton DVD yang berbasis bahasa Inggris. Padahal ketika bersama saya, maksimal 4 jam sehari, saya menggunakan bahasa campuran antara Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia.

Akibat kemaruk, keinginan yang besar, supaya kelak anak saya pandai berbicara dalam berbagai bahasa maka saya mencampurnya. Akibatnya cukup fatal, di usianya yang hampir 4 tahun di masih kesulitan dengan pilihan bahasa mana yang dipakai.

Anak memang tidak pernah salah, yang salah selalulah orang tua dan pendidiknya. Dengan bekal kesadaran itu, saya mulai tertib untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar komunikasi kami. Semoga dengan kesadaran ini saya bisa mengkoreksi kesalahan yang saya lakukan.

"Nduk, anakku. Bahasa Ibu bapakmu adalah bahasa Jawa. Bahasa Ibumu adalah bahasa Indonesia, Bahasa Ibu moyangmu adalah bahasa Belanda. Kelak kalau kau ingin mempelajari semuanya, kau pasti bisa."

Nah, menurut Anda, pentingkah merayakan Hari Bahasa Ibu?Bagi saya jelas. Penting!

(Felly)

Lihat Juga:

Tema Minggu (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi