Menunggu Terang Setelah Gelap

 Andreas S. Pratama  |     19 Apr 2015, 02:39

Dengan hanya menyebut nama Kartini, hampir dipastikan pikiran kita akan menghasilkan dua kata: emansipasi dan "Habis Gelap Terbitlah Terang". Ya, Raden Ajeng (beberapa sumber menyebutnya Raden Ayu) Kartini hingga detik ini dikenal sebagai seorang perempuan yang berani memperjuangkan hak-hak para perempuan yang mengalami ketidakadilan kala Belanda menjajah Indonesia.

Menunggu Terang Setelah Gelap

Dari yang kita dengar dan kita baca dari buku-buku sejarah, perjuangan Kartini berangkat dari sebuah keresahan atas pembedaan hak antara warga Belanda dan kaum pribumi.
Seperti yang kita tahu, pada masa itu hanya 'kaum-kaum terpilih' saja yang dapat menikmati pendidikan. Mereka - khususnya kaum perempuan - yang tidak memiliki cukup uang dan berpredikat 'miskin' dilarang untuk belajar di sekolah yang (kebanyakan) dikelola oleh pemerintah Belanda.

Kaum perempuan pada masa itu tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya mereka akan menjadi istri seorang laki-laki, mengurus anak, dan mengurus suami di rumah. Tak hanya itu, kaum miskin pun tak berhak belajar di sekolah. Stigma inilah yang perlahan-lahan dikikis oleh pandangan-pandangan Kartini.

Singkat cerita, Kartini pun akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan yang memperjuangkan hak-hak para perempuan untuk bisa diperlakukan sama dengan laki-laki. Hal tersebut tercermin dari seluruh berkas korespondensinya yang dibukukan dan diberi judul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Surat-surat tersebut berhasil membuka mata sebagian besar masyarakat, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki bila dilihat dari sudut pandang sebagai manusia seutuhnya (homo sapien).

Pandangan tersebut tentu saja belum bisa diterima secara luas oleh semua orang. Masih cukup banyak orang yang masih melihat para perempuan sebelah mata. Tak sedikit yang mendefinisikan perempuan sebagai 'penggoda', kaum yang pada akhirnya menghambat kemajuan para lelaki. Ironisnya, definisi ini (entah secara sadar atau tidak) justru
diiyakan oleh kaum perempuan sendiri.

Kartini mungkin telah mati, tetapi idealismenya akan tetap hidup. Kini giliran kita yang mengaku sebagai makhluk modern berkat perkembangan zaman dan teknologi, untuk bisa mengikis sedikit demi sedikit stigma-stigma terhadap kaum perempuan. Bila kita sendiri masih nyaman dengan 'kodrat' perempuan yang sejatinya berada di dapur, lalu tak akan ada terang setelah gelap berlalu.

Namun bila kita melihat secara lebih luas, nyatanya perjuangan Kartini tak hanya membahas soal kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Ia juga bukan hanya memprotes sistem patriarki yang dianut oleh budaya Jawa dan didukung oleh Belanda, karena sebenarnya ia justru memperoleh beberapa keuntungan dari sistem ini. Kartini bisa mendapatkan pendidikan yang cukup, karena ia berasal dari keluarga golongan atas (priyayi). Emansipasi yang disuarakan olehnya justru membahas permasalahan sosial umum yang terjadi pada saat itu. Kartini mengkritisi sistem yang dibangun oleh penjajah pada saat itu yang amat diskriminatif. Kesetaraan gender hanyalah salah satu hal yang diperjuangkan Kartini pada masa itu.

Lihat Juga:

Tema Minggu (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi