Jakarta Ideal: Kota Untuk Manusia, Bukan Manusia Untuk Kota

  22 Jun 2013, 13:59

Setiap merayakan HUT kota Jakarta, kini ke-486, penulis selalu membandingkan dengan kota-kota besar lain di negara lain. Pengalaman hampir 40 tahun menjadi wartawan yang sudah mengunjungi 40 negara. Di sana, semakin tua kota semakin mempesona terutama di Eropa. Modernisasi berdampingan dengan masa lalu yang dirawat dan terawat, jejak peradaban warisan budaya masa silam menjadi daya tarik dan bisa 'hidup' berdampingan secara damai.

Sebuah kota yang berpredikat Ibu Kota itu adalah miniatur hukum. Kota bukan hanya wilayah administrasi, tapi juga hasil imajinasi multi kultural. Berkota adalah meninggalkan karakter primordial dan hidup dalam komunitas multikultural.

Sebuah contoh ketika berkendaraan di kota Washington DC, AS, memasuki wilayah Universitas Georgetown meski jalanan sepi ketika di persimpangan jalan, kendaraan kami jalan pelan atau malah berhenti lihat kiri-kanan dulu. Maka benar adanya jika mau tahu apakah negara itu beradab, tercermin dari perilaku berlalulintas warganya. Pesan moralnya, ugal-ugalan di jalan raya itu merugikan orang lain sehingga warga lain tidak memperoleh kenyamanan dan kalau melanggar kepastian hukum telah menanti; karena hukum memang ditegakkan secara benar.

Kini, lihatlah Jakarta. Kota ini seolah ingin mengejar ketinggalannya untuk berusaha sejajar dengan kota lain di luar negeri. Jakarta ingin menjadi kota segalanya, dari pusat pemerintahan, perdagangan, keuangan, hiburan, pendidikan, dan pusat budaya. Tapi apa yang diraih? Kota berkembang tanpa konsep, kumuh, semrawut, dan seabrek predikat buruk layak disematkan. Sebagai penguncinya adalah ketimpangan sosial, serta primordialisme yang kental. Pendek kata, Jakarta sudah memastikan diri sebagai kota bukan untuk manusia.

Djoko Wi/Ahok

Warga Jakarta kini menggantungkan harapan pada Djoko Wi/Ahok untuk mengubah kotanya supaya lebih manusiawi. Keduanya kata para pakar menjalankan politik deliberatif untuk transformasi sosial, turun ke bawah menyerap aspirasi bawah secara langsung baru kemudian mengambil keputusan. Gaya keduanya ini banyak ditiru pemimpin lain tetapi hanya untuk pencitraan. Memang tidak mudah bagi Djoko Wi/Ahok mengatur iklim Jakarta yang sudah utility maximizers tanpa ketulusan dan kecerdikan. Intereaksi sosial Jakarta banyak digerakkan oleh sistem, sedikit oleh solidaritas sosial. Sistem (uang dan kuasa) sangat berpengaruh dan jika terjadi konflik bisa menyeret gubernur. Namun kini gubernur mendapat dukungan besar masyarakat. Jadi tidak perlu takut. Terbukti saat masyarakat menentang hak interpelasi DPRD yang menentang Kartu Jakarta Sehat (KJS).

Jakarta menuju kota manusiawi kini sudah terlihat gerakannya hanya tinggal Sang Waktu yang akan menjadi saksinya. Apakah benar akan ada pemimpin yang amanah, yang mampu memobilisasi modal sosial untuk kebaikan bersama?

Para pakar dan dengan dukungan masyarakat percaya dengan deliberasi publik maka kebijakan Pemda akan didukung oleh seluruh warganya.

Benar kata Ahok, apa yang mereka lakukan sekarang ini sebenarnya sudah harus dilakukan 30 tahun lalu. Dirgahayu Kota Jakarta. Kotaku semoga kota untuk manusia. (Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Tema Minggu (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi