Pasca 30 September 1965 Merawat Ingatan Sejarah Bangsa

  29 Sep 2012, 23:29

Tahun 1977 sebuah even olahraga otomotif internasional "Dharma Putra Kostrad Rally Internasional III" yang diikuti perally-perally dunia seperti Hannu Mikkola dan Mika Hakinnen. Dengan menggunakan bendera merah putih sebagai kibaran start, Pangkostrad waktu itu Letjen. Leo Loupulissa, membuka perlombaan. Namun aneh! Keesokan harinya tak satu mediapun di Jakarta yang memberitakannya. Apa sebab? Ini gara-gara aksi solidaritas korps wartawan olahraga PWI Jaya terhadap penulis yang waktu itu adalah wartawan OR Kompas.

Kejadian sebelumnya penulis berada di halaman Kosrad Merdeka Timur untuk liputan persiapan besar mobil-mobil peserta. Namun tiba-tiba pe-nulis dipanggil oleh komandan provost berpangkat mayor, gara-gara penulis dianggap salah parkir motor? Diinterogasi di ruang kerjanya dianggap "maling"? Peristiwa ini dilihat oleh almarhum Melvin Jacob, wartawan foto Ipphos. Lalu menyebarkan ke seluruh wartawan OR. Ketua wartawan OR Jakarta segera menginstruksikan boikot. Penulis harus patuh, padahal apapun penulis sudah memaafkannya.Namun laporan kejadian ke Pangkos-trad diputar balikkan, bahwa penulis itu "mau memasuki ruang radio Kostrad dan dituduh PKI" Gila! Begitu gampangnya menuduh orang komunis! Dosa besar tak berampun era Orba. Dan ini contoh betapa mudahnya mencap orang PKI. Bisa habis dia sampai cindil-cindil anak cucunya. Padahal penulis sudah meliput Rally itu sejak 1975 bahkan di tahun itu penulis merebut hadiah lomba "Penulis terbaik dan foto terbaik" jalannya Rally itu. Dan Letjen Leo sendiri yang menye-rahkan hadiah itu di Hotel Indonesia.

Kita ingat tahun 1965 terjadi peristiwa Gerakan 30 September dan setelah itu terjadi genocida dan penahanan orang-orang yang dituduh komunis tanpa pengadilan dan dibuang ke Pulau Buru. Anak cucu menderita stigma tak bisa menjadi PNS, warta-wan, tentara, KTPnya ditandai eks tapol, yang pokoknya penghinaan "negara".

Tulisan ini rohnya adalah kemanusiaan jangan ditarik kemana-mana. Pengalaman penulis setiap menulis mengenang peristiwa ini selalu men-dapat tanggapan anti. Bahkan keputusan Komisi HAM Hak-Hak Manusia yang menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pasca 30 September 1965. Kemudian direspons oleh Presiden SBY agar rekomendasi ini harus sege-ra ditindak lanjuti oleh Kejaksaan. Ditentang oleh eks jenderal tertentu TNI AD dan segelintir politikus di DPR serta ormas-ormas tertentu.

Ingat peristiwa Rawagede, Krawang 1947 pembunuhan terhadap 400 war-ga sipil oleh tentara Belanda telah di-nyatakan sebagai pelanggaran berat HAM oleh Pengadilan Belanda tahun 2010.

Roda berputar, kini kita mampu melihat peristiwa sejarah secara kritis. Pasca 30 September 1965 adalah aib sejarah bangsa masuk kedalam memori paling dalam bangsa. Gus Dur ketika menjabat presiden RI memberi contoh, "awan gelap" bangsa ini jangan dipandang dengan kebenarannya sendiri. Tetapi tolok ukurkesejarahan dan kemanusiaan. Maka waktu itu sebagai presiden minta maaf ke-pada keluarga para korban secara terbuka. Ia sadar akan menerima apapun sinisme dan gunjingan yang akan bakal dilontarkan kepadanya.Apakah ada yang mau mengikuti jejak Gus Dur?

(Ign.Sunito)

Lihat Juga:

Tema Minggu (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi