Santo Paulus: Antara Pedang dan Kerendahan Hati

 Paul Heru Wibowo  |     31 Jan 2016, 16:15

Nama sebenarnya bukanlah Paulus, melainkan Saulus. Sejak usia muda, laki-laki itu telah dididik dalam kultur Yahudi yang begitu taat. Ia mempelajari hukum-hukum Yahudi dengan sangat serius di bawah bimbingan Gamaliel. Sinagoga pun menjadi rumah kedua baginya. Meski bekerja sebagai tukang tenda, ia selalu menjadi orang yang selalu siap berada di garis depan untuk mempertahankan ajaran Yudaisme. Sebagai keturunan kaum Farisi, Saulus merasa ditakdirkan sebagai pembela Yahweh. Pedang tajam yang terselip di jubahnya siap dihunus jika nama Yahweh dan hukum-hukum Yahudi dilecehkan.

Santo Paulus: Antara Pedang dan Kerendahan Hati

Karena sikap dan pandangan hidupnya itu, Saulus kerap ditemukan sedang menganiaya orang-orang Nasrani yang percaya kepada ajaran Yesus Kristus. Nama Saulus dikenal sebagai penjagal berdarah dingin di wilayah Yerusalem. Ia bahkan terlibat pula dalam peristiwa perajaman yang menimpa Stefanus, seorang diakon Nasrani yang murah hati. Sayangnya, jerit Stefanus yang menyayat itu ternyata tidak mampu memengaruhi Saulus untuk menghentikan perbuatannya. Ia justru semakin beringas.

Pada suatu waktu, Imam Besar memberikan restu kepada Saulus untuk menangkap dan membantai para pengikut Yesus yang berlindung di kota Damsyik. Saulus berencana untuk menghabisi mereka sampai ke akarnya. Dalam angannya, kemenangan besar akan segera diraihnya. Dalam angannya, ia akan dielu-elukan dan dinobatkan warga Yahudi sebagai pahlawan iman di Yerusalem. Sungguh, perjalanan ke Damsyik menjadi begitu penting bagi karier Saulus, sang penjagal.

Namun, di tengah perjalanan menuju Damsyik, kuda yang ditunggangi Saulus menggila. Sebuah cahaya yang sangat terang membuat kuda itu melontarkan tubuh Saulus ke tanah. Saulus pun terjerembab tak berdaya. Di tengah perjalanan itu Tuhan Yesus berbicara kepadanya. "Saulus, Saulus mengapakah Engkau menganiaya Aku? " (Kis 9:4). Pertemuan itu membuat tekadnya sirna untuk memburu pengikut Yesus. Selama tiga hari, hidupnya dilanda kegelapan karena matanya buta. Namun, dalam kondisi itulah, Paulus justru dapat melihat Yesus sebagai Tuhan yang Maharahim. Dengan rendah hati, ia menyerahkan segenap hidupnya bagi Tuhan yang telah menyapanya.

Kisah Paulus adalah kisah kita semua. Sebagai orang percaya, kita pun kerap bertindak semena-mena terhadap sesama di sekitar kita. Dengan kata dan tindakan, kita kerap melukai sesama. Tidak jarang kita merancang aksi balas dendam terhadap mereka yang telah mengusik kita. Sungguh kita dibutakan oleh keinginan untuk diakui, dihormati, dan dihargai. Kita lupa bahwa pengenalan kita terhadap Kristus seharusnya membawa kita untuk meniti jalan kasih. Pengenalan terhadap Kristus seharusnya memampukan kita untuk melihat kasih karunia Allah sebagai kekuatan yang menyertai perjalanan kehidupan ini. Semoga hati kita dapat diubah. Santo Paulus, Rasul yang rendah hati, doakanlah kami.

Lihat Juga:

Tema Minggu (WM) Lainnya...

Renungan Harian

Minggu, 3 Maret 2024

Hari Minggu Prapaskah III Wanita Samaria itu datang untuk percaya akan Yesus, yang menempatkan dia di hadapan kita sebagai lambang --- St. Agustinus...

Selengkapnya

Jadwal Misa Rutin

Sabtu Pukul 16:30
  Pukul 19:00
 
Minggu Pukul 06:30
  Pukul 09:00
  Pukul 11:30
  Pukul 16:30
  Pukul 19:00

Selengkapnya

Kalender Liturgi